Selasa, 25 Oktober 2011

Wajar Kalau Banyak Perempuan Masuk Neraka

"Assalamua’alaikum, Bu,”"suara seorang pria terdengar.
“Wa alaikum salam,”sambut suara lembut seorang perempuan.
“Saya prihatin dengan kondisi perempuan saat ini, Bu,”lanjut pria tadi,”Soalnya gini. Subuh kemarin, lingkungan Er-Te kami gempar karena ditemukan seorang bayi didalam kardus di depan mushola.”
“Saya tak habis mengerti kenapa ibu bayi tadi tega membuang darah dagingnya sendiri sementara banyak perempuan lain mengharap kehadiran momongan,”suara pria itu bergetar menahan marah, “Jadi, wajarlah kalau di akhir zaman nanti lebih banyak perempuan yang masuk  neraka daripada laki-laki.”
“Bapak yang baik,”suara perempuan itu tetap lembut,”Ibu itu pasti bukanlah Maryam yang dengan kekuasaan Tuhan, sehingga tanpa campur tangan seorang laki-laki, mempunyai anak, yaitu Nabi Isa, dan anak yang dibuang itu pastilah mempunyai bapak.
Saya masih percaya bahwa seorang ibu, sejahat apa pun dia, tidak akan rela menyakiti, membuang, anaknya, Pak. Sekarang yang jadi pertanyaannya, kenapa pembuangan, penelantaran, penyiksaan, anak makin sering terjadi? Pada banyak kasus pembuangan anak, hanya pihak ibu saja yang banyak disalahkan. Aneh, bukan? Padahal perempuan tidak akan bisa hamil tanpa kehadiran pria. Pria yang membuahi wanita sehingga lahirlah anak.
Sekarang, kalau seorang pria mau bertanggung jawab dengan hasil perbuatannya, misalnya tidak lari untuk mengakui anak hasil hubungan gelapnya, mau menafkahi anak tadi dengan maksimal, ataupun mampu memanajemen keluarga dengan baik, saya yakin tidak akan terjadi penelantaran anak. Saya yakin itu.
Karena kalau saya dengar alasan pembuangan anak, meskipun ini bisa jadi argumentasi untuk mengelak mengakui kesalahannya, rata-rata karena sang lelaki menghilang dan tak mau mengakui status anak atau karena ketidakmampuan sang suami secara ekonomi untuk memberi makan banyak anggota keluarga. Klise memang, tapi itu nyata lho, Pak.
Tentang pembuangan anak di tempat Bapak tadi, mbok ya, jangan hanya bisa menyalahkan perempuannya saja, tapi cari, dong, bapaknya. Biar keduanya bisa dihukum bareng.”
Itulah percakapan di sebuah acara Tanya Jawab Agama di salah satu radio. Sepele memang, tapi kalau melihat kondisi sekarang tema percakapan tetap aktual.