"Assalamua’alaikum, Bu,”"suara seorang pria terdengar.
“Wa alaikum salam,”sambut suara lembut seorang perempuan.
“Saya prihatin dengan kondisi perempuan saat ini, Bu,”lanjut
pria tadi,”Soalnya gini. Subuh kemarin, lingkungan Er-Te kami gempar
karena ditemukan seorang bayi didalam kardus di depan mushola.”
“Saya tak habis mengerti kenapa ibu bayi tadi tega membuang
darah dagingnya sendiri sementara banyak perempuan lain mengharap
kehadiran momongan,”suara pria itu bergetar menahan marah, “Jadi,
wajarlah kalau di akhir zaman nanti lebih banyak perempuan yang masuk
neraka daripada laki-laki.”
“Bapak yang baik,”suara perempuan itu tetap lembut,”Ibu itu
pasti bukanlah Maryam yang dengan kekuasaan Tuhan, sehingga tanpa campur
tangan seorang laki-laki, mempunyai anak, yaitu Nabi Isa, dan anak yang
dibuang itu pastilah mempunyai bapak.
Saya masih percaya bahwa seorang ibu, sejahat apa pun dia,
tidak akan rela menyakiti, membuang, anaknya, Pak. Sekarang yang jadi
pertanyaannya, kenapa pembuangan, penelantaran, penyiksaan, anak makin
sering terjadi? Pada banyak kasus pembuangan anak, hanya pihak ibu saja
yang banyak disalahkan. Aneh, bukan? Padahal perempuan tidak akan bisa
hamil tanpa kehadiran pria. Pria yang membuahi wanita sehingga lahirlah
anak.
Sekarang, kalau seorang pria mau bertanggung jawab dengan
hasil perbuatannya, misalnya tidak lari untuk mengakui anak hasil
hubungan gelapnya, mau menafkahi anak tadi dengan maksimal,
ataupun mampu memanajemen keluarga dengan baik, saya yakin tidak akan
terjadi penelantaran anak. Saya yakin itu.
Karena kalau saya dengar alasan pembuangan anak, meskipun
ini bisa jadi argumentasi untuk mengelak mengakui kesalahannya,
rata-rata karena sang lelaki menghilang dan tak mau mengakui status anak
atau karena ketidakmampuan sang suami secara ekonomi untuk memberi
makan banyak anggota keluarga. Klise memang, tapi itu nyata lho, Pak.
Tentang pembuangan anak di tempat Bapak tadi, mbok ya,
jangan hanya bisa menyalahkan perempuannya saja, tapi cari, dong,
bapaknya. Biar keduanya bisa dihukum bareng.”
Itulah percakapan di sebuah acara Tanya Jawab Agama di salah satu radio.
Sepele memang, tapi kalau melihat kondisi sekarang tema percakapan
tetap aktual.