Hisyam bin
Abdul Malik, seorang penguasa Bani Ummayah, sedang berusaha mencium Hajar Aswad,
tetapi orang-orang yang thawaf begitu banyak sehingga ia selalu gagal.
Para peziarah, yang sedang terbenam dalam pemujaan kepada Allah, tidak lagi peduli
pada penguasa dunia. Para pengawal Hisyam pun gagal menyingkirkan para tamu
Allah. Tampaknya, bagi para pelaku thawaf itu, lebih baik mati dalam berzikir daripada
selamat dengan menyingkir. Di depan rumah Allah itu, kemegahan dunia tidak ada
artinya.
Akhirnya,
dalam keadaan lelah, Hisyam beristirahat. Sebuah kursi disediakan baginya di
tempat yang agak tinggi. Dari atas, ia memandangi puluhan ribu jamaah yang berdesakan,
berebut hendak mencium batu hitam. Seperti Hisyam, banyak di antara mereka yang
gagal. Hisyam tersenyum. Tiba-tiba wajah memuram. Ia melihat seorang laki-laki
tampan datang. Wajahnya memancarkan kesalehan, bersinar karena basuhan air
wudhu. Usai thawaf, laki-laki itu dengan tenang menuju Hajar Aswad.
Langkahnya mantap. Zikirnya pelan tetapi menggetarkan. Orang-orang menyingkir,
memberi kesempatan baginya untuk mencium Hajar Aswad. Hisyam terperangah. Ia
tahu laki-laki itu, tetapi ketika anak buahnya bertanya siapa orang itu, Hisyam
menjawab,”Aku tak kenal dia.”
Farazdaq,
seorang penyair, segera berdiri. Digubahnya sebuah puisi:
Dialah yang dikenal jejak kakinya
Oleh butiran pasir yang dilangkahinya
Bila orang Quraisy melihatnya
Berkatalah juru bicara mereka
Pada keagungan pribadinya
Berpuncak semua sifat yang mulia.
Hisyam marah.
Farazdaq ditangkap. Tetapi, kebesaran orang itu, Zainal Abidin, cucu Rasulullah
Saw, tidak pudar karena kebesarannya tidak ditegakkan dalam kekuasaan, kekayaan,
atau keturunan. Kebesarannya ada pada keindahan pribadinya. Inilah kebesaran
hakiki. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah dia yang paling taqwa.”(QS Al
Hujurat:13)