Berkali-kali mama mengingatkan, tapi Helmi tetap saja
tak acuh.
“Cepatlah bangun, Helmi,”perintah mama sambil
menarik-narik kaki Helmi.”Sudah siang ini.”
Helmi hanya menggeliat sebentar, lalu mendengkur
kembali.
‘Helmi, bangun!”suara mama meninggi.
“Bangun!”teriak mama lebih tinggi.
“Ya, Ma. Lima menit lagi.”Suara Helmi tak jelas dalam
gumam pagi.
Tapi, sepuluh menit berlalu, Helmi ternyata masih
melingkar di tempat tidurnya.
“Bangun!”Teriak mama lagi untuk kesekian
kalinya.”Sudah siang! Salat Subuh! Cepat sekolah!”
Lalu mama pun mulai bertindak. Ia menarik Helmi dari
tempat tidur tanpa ampun lagi. Mama pun mencubit pahanya berkali-kali dan
menempiaskan air ke wajah Helmi bertubi-tubi.
Barulah Helmi bisa bangun perlahan, dengan lesu dan
malas, untuk melangkah ke kamar mandi.
Itulah drama kecil yang selalu berulang setiap pagi.
Mama kian kesal menghadapi semua itu. Kekesalan yang kian menumpuk, kian
menekan, kian menyesak. Kekesalan yang menguras segala kesabaran, yang menyedot
segala kemudahan, yang merampok segala kejernihan. Adakah yang tersisa?
Mama letih. Benar-benar letih. Dadanya terasa
terhimpit beban yang berat, yang kian tak jelas. Ya, betapa sering kita
menyaksikan seseorang mengeluh yang tak jelas karena beban yang tak
diketahuinya sendiri. Betapa sering orang menduga, ada yang tak beres pada
jantungnya, hanya karena persoalan disiplin anak yang baur, yang menghimpit
dadanya berulang kali.
Lalu begitu sulitkah sesungguhnya membiasakan seorang
anak untuk menepati waktunya sendiri setiap pagi, menjalani hidupnya sehari-hari?
Begitu sulitkah mendisiplinkan anak kita sendiri?
Kita sering lupa selama ini bahwa disiplin memang
tidak selalu berhasil. Dan itu tidak aneh, kata Dr. Fitzhugh Dodson dalam
bukunya How to Dicipline With Love, 1978.
Apalagi disiplin seringkali mengundang konotasi kaku, suatu sikap negatif yang
dicobapaksakan pada anak oleh orang tua agar anak bertingkah baik.
Tapi, sesungguhnya, dan itulah yang sering dilupakan,
hanya berlandaskan cinta yang akrab sajalah, kata Dodson, disiplin baru bisa
dibangun dengan perlahan dalam suatu rangkaian proses pendidikan yang teramat
panjang. “Disiplin sesungguhnya tak mengenal stasiun terakhir,”tulis
Dodson.”Disiplin tak lain adalah dapat bergaul baik dengan anak kita sendiri.”
Dan itulah yang justru tidak dimengerti oleh mama
selama ini dalam menghadapi Helmi. Mama berpendapat bahwa Helmi memang harus
didisiplinkan agar hidupnya teratur. Dengan memberikan perintah-perintah yang
harus dipatuhi oleh anaknya itu, mama yakin Helmi akan menjadi anak yang patuh
dan penurut. Dengan ketat mama selalu mengawasi pelaksanaan semua perintah yang
sudah diluncurkannya.
“Tapi, yang dikembangkan kemudian hanyalah ketegangan
di antara mereka,”tulis Dodson lebih lanjut.
Dan ketegangan itu merugikan kedua belah pihak. Helmi
kian tak suka diawasi.
“Apakah saya ini anggota organisasi terlarang?”gerutunya.
Mama yang memang mendengar gerutuan seperti itu
menjadi berang. Mama tak suka dianggap intel yang iseng, yang suka mengawasi
orang yang lalu lalang di jalanan sepanjang hari.
“Ia tak mau mengerti,”keluh mama.
“Helmi tak pernah mau tahu bahwa ia harus
mendisiplinkan dirinya lebih dulu jika ingin jadi orang kelak. Hanya disiplin
yang ketat sajalah yang akan membuat seseorang sukses dalam hidupnya. Tetapi
mengapa ia tidak mau mengerti? Ia bahkan tambah liar,”keluh mama dengan letih.
Dan keletihan itulah yang akhirnya mengantarkan mama
ke rumah sakit. Dalam obrolan yang cukup panjang, setelah menjalani berbagai
pemeriksaan yang dianggap perlu, kisah tentang Helmi, anaknya itu, terungkap
jua akhirnya.
Agaknya mama memang membutuhkan waktu untuk memahami
tulisan Dr. Dodson yang saya kutipkan waktu itu.