Selasa, 19 Februari 2019

H E L M I


Berkali-kali mama mengingatkan, tapi Helmi tetap saja tak acuh.
“Cepatlah bangun, Helmi,”perintah mama sambil menarik-narik kaki Helmi.”Sudah siang ini.”
Helmi hanya menggeliat sebentar, lalu mendengkur kembali.
‘Helmi, bangun!”suara mama meninggi.
“Bangun!”teriak mama lebih tinggi.
“Ya, Ma. Lima menit lagi.”Suara Helmi tak jelas dalam gumam pagi.
Tapi, sepuluh menit berlalu, Helmi ternyata masih melingkar di tempat tidurnya.
“Bangun!”Teriak mama lagi untuk kesekian kalinya.”Sudah siang! Salat Subuh! Cepat sekolah!”
Lalu mama pun mulai bertindak. Ia menarik Helmi dari tempat tidur tanpa ampun lagi. Mama pun mencubit pahanya berkali-kali dan menempiaskan air ke wajah Helmi bertubi-tubi.
Barulah Helmi bisa bangun perlahan, dengan lesu dan malas, untuk melangkah ke kamar mandi.
Itulah drama kecil yang selalu berulang setiap pagi. Mama kian kesal menghadapi semua itu. Kekesalan yang kian menumpuk, kian menekan, kian menyesak. Kekesalan yang menguras segala kesabaran, yang menyedot segala kemudahan, yang merampok segala kejernihan. Adakah yang tersisa?
Mama letih. Benar-benar letih. Dadanya terasa terhimpit beban yang berat, yang kian tak jelas. Ya, betapa sering kita menyaksikan seseorang mengeluh yang tak jelas karena beban yang tak diketahuinya sendiri. Betapa sering orang menduga, ada yang tak beres pada jantungnya, hanya karena persoalan disiplin anak yang baur, yang menghimpit dadanya berulang kali.
Lalu begitu sulitkah sesungguhnya membiasakan seorang anak untuk menepati waktunya sendiri setiap pagi, menjalani hidupnya sehari-hari? Begitu sulitkah mendisiplinkan anak kita sendiri?
Kita sering lupa selama ini bahwa disiplin memang tidak selalu berhasil. Dan itu tidak aneh, kata Dr. Fitzhugh Dodson dalam bukunya How to Dicipline With Love, 1978. Apalagi disiplin seringkali mengundang konotasi kaku, suatu sikap negatif yang dicobapaksakan pada anak oleh orang tua agar anak bertingkah baik.
Tapi, sesungguhnya, dan itulah yang sering dilupakan, hanya berlandaskan cinta yang akrab sajalah, kata Dodson, disiplin baru bisa dibangun dengan perlahan dalam suatu rangkaian proses pendidikan yang teramat panjang. “Disiplin sesungguhnya tak mengenal stasiun terakhir,”tulis Dodson.”Disiplin tak lain adalah dapat bergaul baik dengan anak kita sendiri.”
Dan itulah yang justru tidak dimengerti oleh mama selama ini dalam menghadapi Helmi. Mama berpendapat bahwa Helmi memang harus didisiplinkan agar hidupnya teratur. Dengan memberikan perintah-perintah yang harus dipatuhi oleh anaknya itu, mama yakin Helmi akan menjadi anak yang patuh dan penurut. Dengan ketat mama selalu mengawasi pelaksanaan semua perintah yang sudah diluncurkannya.
“Tapi, yang dikembangkan kemudian hanyalah ketegangan di antara mereka,”tulis Dodson lebih lanjut.
Dan ketegangan itu merugikan kedua belah pihak. Helmi kian tak suka diawasi.
“Apakah saya ini anggota organisasi terlarang?”gerutunya.
Mama yang memang mendengar gerutuan seperti itu menjadi berang. Mama tak suka dianggap intel yang iseng, yang suka mengawasi orang yang lalu lalang di jalanan sepanjang hari.
“Ia tak mau mengerti,”keluh mama.
“Helmi tak pernah mau tahu bahwa ia harus mendisiplinkan dirinya lebih dulu jika ingin jadi orang kelak. Hanya disiplin yang ketat sajalah yang akan membuat seseorang sukses dalam hidupnya. Tetapi mengapa ia tidak mau mengerti? Ia bahkan tambah liar,”keluh mama dengan letih.
Dan keletihan itulah yang akhirnya mengantarkan mama ke rumah sakit. Dalam obrolan yang cukup panjang, setelah menjalani berbagai pemeriksaan yang dianggap perlu, kisah tentang Helmi, anaknya itu, terungkap jua akhirnya.
Agaknya mama memang membutuhkan waktu untuk memahami tulisan Dr. Dodson yang saya kutipkan waktu itu.




Senin, 04 Februari 2019

G I N A

Gina tak pernah membayangkan bahwa Tejo akan melamarnya.
Sudah lama mereka tak bertemu. Sejak pertengkaran paling akhir di sore gerimis itu, mereka tak pernah lagi berhubungan. Tegur sapa pun tidak. Seakan ada dendam yang berdenyut terus bagai magma. Seakan ada kebencian yang menggeliat tubir hari masing-masing, tak pernah padam.
Lalu, tak disangka-sangka, tiba-tiba mereka bertemu kembali pada satu sore yang gerimis pula. Suatu pertemuan yang begitu tiba-tiba sampai mereka tak bisa mengelak lagi.
“Gina,”suara Tejo lepas begitu saja.
“Tejo?”Suara Gina lepas pula.
Setelah berpandangan sesaat, senyum mereka mengembang perlahan dan tersipu. Hujan pun luruh menggebu.
Mereka bertemu di ruang tunggu rumah sakit. Sama-sama mau berkonsultasi.
“Sudah lama saya merasakan ada yang tak beres di sini.” Gina menunjuk dadanya.”Saya sering merasa berdebar, terutama jika bangun tengah malam.”
“Saya sendiri merasakan nyeri yang berulang-ulang di balik dada. Sudah lama saya ingin kontrol, tapi selalu tertunda. Sore ini, tiba-tiba saja satu dorongan yang teramat kuat membuat saya sampai di sini. Saya sendiri tidak tahu kenapa.”Tejo coba tersenyum.”Yang pasti kita bertemu sekarang.”
 “Saya tidak menyangka kita akan bertemu di sini,”kata Tejo lagi menyambung pembicaraannya setelah saling terdiam beberapa lama.”Sejak kau pindah ke Surabaya, saya tak pernah menemukan alamatmu di sana. Semua teman yang pernah saya hubungi tidak tahu di mana kau tinggal. Benar-benar saya kehilangan jejak.”
Gina hanya menunduk. Tidak menjawab.
“Sepuluh tahun sejak gerimis di sore yang dulu, kita tak pernah bertemu lagi,”kata Tejo.”Anakmu tentu sudah besar sekarang?”
“Kau sendiri bagaimana? Sudah berapa anakmu?”Tanya Gina dengan cepat mengalihkan. Ia berdebar.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia kini yang menunduk.
“Saya percaya, anakmu tentu cerdas-cerdas semua seperti papanya. Tentu saja juga nakal-nakal, ya,”kata Gina.
“Tak ada semua itu. Tak ada,”kata Tejo dengan suara serak.”Janganlah menyinggung itu lagi. Tak ada semua itu. Secara terus terang kukatakan, aku masih mencintaimu. Betapa pun ingin kudengar kabarmu, tetapi sejak sore gerimis itu, kau hilang bagai ditelan bumi.”
Tejo menarik napas beberapa kali, seakan ada sesuatu yang berat menekan dadanya. Ia menarik napas dalam sedalam-dalamnya dan ia ingin memuntahkan semua itu karena tak tahan lagi meredamnya.
“Tapi, sayangnya, ketika kita bertemu lagi saat ini, kau tenyata sudah bersuami. Saya sebenarnya ingin melamarmu jika tidak ada lelaki itu…”
Gina kaget mendengar ucapan Tejo.
”Benarkah itu? Benarkah kau masih mencintaiku? Benarkah kau ingin melamarku?”Suara Gina gemetar hampir tak terdengar.”Tejo, tak ada lelaki itu sampai hari ini?”
“Jadi, kau juga belum…”
Gina mengangguk pelan. Secara refleks Tejo memeluk Gina erat sekali di sore yang temaram itu dan hujan tinggal gerimis yang tipis.
Cinta memang sering aneh jalannya. Juga jodoh. Itu sebabnya sesungguhnya kita tidak boleh gundah, apalagi kita menyadari kita mesti zuhud, bahwa seluruh elemen kehidupan duniawi kita hanya untuk ibadah dan kita hanya tinggal menjalani garis takdir kita masing-masing. Maka, apa pun persoalan dunia yang kita hadapi, kita memang tidak boleh tergantung padanya. Lalu, seberapa jauhkah  kita mampu menjaga diri dari pengaruh lingkungan sekitar kita?
Kita mungkin gundah karena tetangga kita ternyata sudah bermobil sedang kita belum juga. Kita mungkin gundah ketika tahu bahwa anak kita tak mampu melanjutkan sekolah sementara anak orang lain berebut sekolah di luar negeri. Kita bisa gundah karena berbagai hal apa pun di sekitar kita. Kita gundah karena kita tak mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal, seharusnya di dunia ini dapat atau tidak dapat, sesungguhnya sama karena semuanya untuk ibadah dan garis takdir seseorang memang berbeda-beda.
Juga, ternyata bagi Tejo dan Gina. Sore itu, mereka tak jadi berkonsultasi.

Sumber: Republika