Senin, 04 Februari 2019

G I N A

Gina tak pernah membayangkan bahwa Tejo akan melamarnya.
Sudah lama mereka tak bertemu. Sejak pertengkaran paling akhir di sore gerimis itu, mereka tak pernah lagi berhubungan. Tegur sapa pun tidak. Seakan ada dendam yang berdenyut terus bagai magma. Seakan ada kebencian yang menggeliat tubir hari masing-masing, tak pernah padam.
Lalu, tak disangka-sangka, tiba-tiba mereka bertemu kembali pada satu sore yang gerimis pula. Suatu pertemuan yang begitu tiba-tiba sampai mereka tak bisa mengelak lagi.
“Gina,”suara Tejo lepas begitu saja.
“Tejo?”Suara Gina lepas pula.
Setelah berpandangan sesaat, senyum mereka mengembang perlahan dan tersipu. Hujan pun luruh menggebu.
Mereka bertemu di ruang tunggu rumah sakit. Sama-sama mau berkonsultasi.
“Sudah lama saya merasakan ada yang tak beres di sini.” Gina menunjuk dadanya.”Saya sering merasa berdebar, terutama jika bangun tengah malam.”
“Saya sendiri merasakan nyeri yang berulang-ulang di balik dada. Sudah lama saya ingin kontrol, tapi selalu tertunda. Sore ini, tiba-tiba saja satu dorongan yang teramat kuat membuat saya sampai di sini. Saya sendiri tidak tahu kenapa.”Tejo coba tersenyum.”Yang pasti kita bertemu sekarang.”
 “Saya tidak menyangka kita akan bertemu di sini,”kata Tejo lagi menyambung pembicaraannya setelah saling terdiam beberapa lama.”Sejak kau pindah ke Surabaya, saya tak pernah menemukan alamatmu di sana. Semua teman yang pernah saya hubungi tidak tahu di mana kau tinggal. Benar-benar saya kehilangan jejak.”
Gina hanya menunduk. Tidak menjawab.
“Sepuluh tahun sejak gerimis di sore yang dulu, kita tak pernah bertemu lagi,”kata Tejo.”Anakmu tentu sudah besar sekarang?”
“Kau sendiri bagaimana? Sudah berapa anakmu?”Tanya Gina dengan cepat mengalihkan. Ia berdebar.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia kini yang menunduk.
“Saya percaya, anakmu tentu cerdas-cerdas semua seperti papanya. Tentu saja juga nakal-nakal, ya,”kata Gina.
“Tak ada semua itu. Tak ada,”kata Tejo dengan suara serak.”Janganlah menyinggung itu lagi. Tak ada semua itu. Secara terus terang kukatakan, aku masih mencintaimu. Betapa pun ingin kudengar kabarmu, tetapi sejak sore gerimis itu, kau hilang bagai ditelan bumi.”
Tejo menarik napas beberapa kali, seakan ada sesuatu yang berat menekan dadanya. Ia menarik napas dalam sedalam-dalamnya dan ia ingin memuntahkan semua itu karena tak tahan lagi meredamnya.
“Tapi, sayangnya, ketika kita bertemu lagi saat ini, kau tenyata sudah bersuami. Saya sebenarnya ingin melamarmu jika tidak ada lelaki itu…”
Gina kaget mendengar ucapan Tejo.
”Benarkah itu? Benarkah kau masih mencintaiku? Benarkah kau ingin melamarku?”Suara Gina gemetar hampir tak terdengar.”Tejo, tak ada lelaki itu sampai hari ini?”
“Jadi, kau juga belum…”
Gina mengangguk pelan. Secara refleks Tejo memeluk Gina erat sekali di sore yang temaram itu dan hujan tinggal gerimis yang tipis.
Cinta memang sering aneh jalannya. Juga jodoh. Itu sebabnya sesungguhnya kita tidak boleh gundah, apalagi kita menyadari kita mesti zuhud, bahwa seluruh elemen kehidupan duniawi kita hanya untuk ibadah dan kita hanya tinggal menjalani garis takdir kita masing-masing. Maka, apa pun persoalan dunia yang kita hadapi, kita memang tidak boleh tergantung padanya. Lalu, seberapa jauhkah  kita mampu menjaga diri dari pengaruh lingkungan sekitar kita?
Kita mungkin gundah karena tetangga kita ternyata sudah bermobil sedang kita belum juga. Kita mungkin gundah ketika tahu bahwa anak kita tak mampu melanjutkan sekolah sementara anak orang lain berebut sekolah di luar negeri. Kita bisa gundah karena berbagai hal apa pun di sekitar kita. Kita gundah karena kita tak mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal, seharusnya di dunia ini dapat atau tidak dapat, sesungguhnya sama karena semuanya untuk ibadah dan garis takdir seseorang memang berbeda-beda.
Juga, ternyata bagi Tejo dan Gina. Sore itu, mereka tak jadi berkonsultasi.

Sumber: Republika


Tidak ada komentar:

Posting Komentar