Senin, 18 Juli 2011

Hidup Sehat Tanpa Alas Kaki


“Hei! Pada nggak pakai sandal, ya?”Istriku berkacak pinggang didepan rumah melihat kami yang berjalan mendekat.

Bertiga, kami, ayah tercinta, si sulung yang gagah, dan si bungsu yang manis, serentak memamerkan senyum  untuk mengurangi rasa marah bunda.

“Wangi! Kenapa nggak pakai sandal?”Istriku bertanya pada si bungsu.

“Ayah saja dak pakai sandal, Bun,”ia membela diri.

“Dak usah ikut kelakuan ayah yang dak benar itu.”

“Kata Ayah, biar sehat kalau jalan pagi, tuh, tanpa sandal, Bun,”dukung si sulung.

“Jangan ditiru kelakuan ayah. Malu sama tetangga, tahu.”

Dua yang tak beralas kaki itu anakku
Malu sama tetangga adalah kata kunci masyarakat modern untuk menghilangkan kebiasaan sehat berjalan kaki. Padahal alas kaki, sebagus dan semahal apa pun, tak akan pernah  cocok dengan karakteristik kaki manusia. Menurut kompas.com sepatu bukan hanya mengubah bentuk kaki, tapi malah membuat kaki lebih rentan cidera.

Jalan pagi memang telah menjadi rutinitasku sejak masih mahasiswa dulu. Kini, kebiasaan untuk jalan pagi tanpa alas mendapat respon dari kedua anakku. Setiap pagi, sambil menuntun sepeda yang dinaiki anakku, kami setia menyusuri jalan di lingkungan rumah. Memang awalnya orang pada heran melihat ketelanjangan kaki kami, tapi, dengan berpegang teguh pada prinsip alah bisa karena biasa, mereka akhirnya terbiasa melihat kebiasaan kami.

Baru-baru ini aku menemukan bahan untuk pembelaan terhadap istri yang tetap saja menolak mentah-mentah kebiasaan kami bertiga untuk bertelanjang kaki. Masih menurut kompas.com, ada enam keuntungan dari berjalan tanpa alas dengan syarat berjalan  di permukaan tanah sedikitnya 3 kali dalam seminggu, yaitu:

1.  Pada musim panas, berjalan tanpa alas kaki memiliki efek mendinginkan tubuh, terutama berjalan menginjak rumput di pagi hari.

2.   Saat kaki tidak dibatasi sepatu, kaki akan menghasilkan gerakan yang mengaktifkan otot-otot di kaki sehingga sirkulasi darah ke bagian jantung menjadi lebih lancar. Fungsi sirkulasi yang lancar ini bisa mencegah bekuan darah di kaki, mengurangi stres pada sistem kardiovaskular dan menurunkan tekanan darah. 

3. Penggunaan sepatu terus menerus bisa membuat otot-otot kaki menjadi lelah. Biarkan otot kaki menjadi rileks dengan berjalan tanpa alas.

4.    Berjalan tanpa alas kaki juga terbukti bisa mengatasi telapak kaki datar. 

5.  Berjalan kaki tanpa alas juga meningkatkan kontak secara langsung dengan alam. Hal ini bisa berpengaruh pada peningkatan level energi dan mengendurkan ketegangan.

6.   Berjalan di permukaan tanah tanpa alas kaki juga membantu menguatkan struktur tulang kaki dan mencegah perubahan bentuk kaki.

Nah, mulai sekarang mari kita kampanyekan “Hidup Sehat Tanpa Alas Kaki”.

Kamis, 14 Juli 2011

Jilbab Tak Lagi Menunjukkan Kualitas Keimanan Pemakainya


Masih kuingat perjuangan para jilbaber generasi awal diakhir era 80-an, ketika isyu menaburkan racun pada beras atau bahan makanan lain yang dilakukan oleh perempuan-perempuan berjilbab di pasar-pasar tradisional banyak memakan korban pemukulan dan pengeroyokan.

Belum lagi pelecehan yang dilakukan kaum pria dengan mengucapkan salam khas Arab, assalamu’alaikum, dengan nada bercanda ketika seorang perempuan berjilbab melintas.

Jilbaber muda yang akan mencerahkan Islam
Pokoknya pada masa itu, berjilbab bukanlah suatu pilihan. Berat sekali tantangan yang harus dihadapi untuk sekedar mengenakan jilbab, baik itu dari lingkungan sekolah, instansi pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jadi hanya mereka yang kuat secara mental mapun kuat secara keimanan yang mau mengenakan jilbab.

Pakaian gamis yang kebesaran dan berlapis dengan jilbab yang memanjang menutupi tubuh menjadi trend pakaian jilbab generasi awal. Terkadang dilengkapi dengan sarung tangan, kaos kaki, dan penutup wajah, sehingga kesannya Arab abis. Belum lagi kalau berjalan harus dengan langkah yang bergegas.

Tapi, seiring perjalanan waktu, penerimaan masyarakat terhadap perempuan berjilbab pun membaik. Perempuan berjilbab mulai bertebaran dan berani beraktivitas di lingkungan luas.

Dan kini, hari ini, jilbab telah menjadi pakaian nasional. Tak aneh lagi melihat para perempuan mengenakan jilbab ketika menghadiri suatu acara padahal dikehidupan sehari-hari mereka tidak mengenakannya. Belum lagi beberapa daerah, berdasarkan sistem otonomi daerah, menerapkan aturan wajib jilbab bagi anak sekolah tanpa melihat kepercayaan yang dianut sang murid.

Keberadaan jilbab yang lepas dari nilai keagamaan membuat prihatin pihak-pihak yang masih menganggap jilbab sebagai pakaian resmi perempuan Islam. Mereka miris melihat perempuan berjilbab dengan pakaian yang superketat, perempuan berjilbab yang berpegangan tangan atau bahkan berpelukan di muka umum, atau perempuan berjilbab yang melakukan kejahatan.

Ini cerita Uwak yang marah-marah melihat seorang perempuan muda berjilbab dengan cueknya berciuman dengan pasangannya didepannya ketika ia duduk-duduk di taman kota dengan cucunya. 

“Barangkali mereka sudah nikah, Wak?”hiburku untuk menutupi kekecewaannya.

“Dak mungkin. Mereka masih anak sekolah, kok.”

Aku hanya tersenyum menanggapi kengototannya. Aku pun bingung mencari kata hiburan lainnya untuk mengobati kekecewaan Uwak karena ini resiko apabila jilbab hanya dianggap sebagai pakaian yang mengikuti trend mode.