Kamis, 14 Juli 2011

Jilbab Tak Lagi Menunjukkan Kualitas Keimanan Pemakainya


Masih kuingat perjuangan para jilbaber generasi awal diakhir era 80-an, ketika isyu menaburkan racun pada beras atau bahan makanan lain yang dilakukan oleh perempuan-perempuan berjilbab di pasar-pasar tradisional banyak memakan korban pemukulan dan pengeroyokan.

Belum lagi pelecehan yang dilakukan kaum pria dengan mengucapkan salam khas Arab, assalamu’alaikum, dengan nada bercanda ketika seorang perempuan berjilbab melintas.

Jilbaber muda yang akan mencerahkan Islam
Pokoknya pada masa itu, berjilbab bukanlah suatu pilihan. Berat sekali tantangan yang harus dihadapi untuk sekedar mengenakan jilbab, baik itu dari lingkungan sekolah, instansi pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jadi hanya mereka yang kuat secara mental mapun kuat secara keimanan yang mau mengenakan jilbab.

Pakaian gamis yang kebesaran dan berlapis dengan jilbab yang memanjang menutupi tubuh menjadi trend pakaian jilbab generasi awal. Terkadang dilengkapi dengan sarung tangan, kaos kaki, dan penutup wajah, sehingga kesannya Arab abis. Belum lagi kalau berjalan harus dengan langkah yang bergegas.

Tapi, seiring perjalanan waktu, penerimaan masyarakat terhadap perempuan berjilbab pun membaik. Perempuan berjilbab mulai bertebaran dan berani beraktivitas di lingkungan luas.

Dan kini, hari ini, jilbab telah menjadi pakaian nasional. Tak aneh lagi melihat para perempuan mengenakan jilbab ketika menghadiri suatu acara padahal dikehidupan sehari-hari mereka tidak mengenakannya. Belum lagi beberapa daerah, berdasarkan sistem otonomi daerah, menerapkan aturan wajib jilbab bagi anak sekolah tanpa melihat kepercayaan yang dianut sang murid.

Keberadaan jilbab yang lepas dari nilai keagamaan membuat prihatin pihak-pihak yang masih menganggap jilbab sebagai pakaian resmi perempuan Islam. Mereka miris melihat perempuan berjilbab dengan pakaian yang superketat, perempuan berjilbab yang berpegangan tangan atau bahkan berpelukan di muka umum, atau perempuan berjilbab yang melakukan kejahatan.

Ini cerita Uwak yang marah-marah melihat seorang perempuan muda berjilbab dengan cueknya berciuman dengan pasangannya didepannya ketika ia duduk-duduk di taman kota dengan cucunya. 

“Barangkali mereka sudah nikah, Wak?”hiburku untuk menutupi kekecewaannya.

“Dak mungkin. Mereka masih anak sekolah, kok.”

Aku hanya tersenyum menanggapi kengototannya. Aku pun bingung mencari kata hiburan lainnya untuk mengobati kekecewaan Uwak karena ini resiko apabila jilbab hanya dianggap sebagai pakaian yang mengikuti trend mode.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar