Rabu, 12 Desember 2018

Memahami Makna Kejujuran

Jujur, dalam bahasa Arab, semakna dengan assidqu atau siddiq yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Sedang secara istilah, jujur atau assidqu berarti (1) kesesuaian antara ucapan dan perbuatan; (2) kesesuaian antara informasi dan kenyataan; (3) ketegasan dan kemantapan hati; dan, terakhir, (4) sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.
Kejujuran merupakan dasar atas tegaknya nilai-nilai kebenaran karena kejujuran identik dengan kebenaran. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Al-ahzab:70, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Jujur adalah sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta maupun tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat disebut al-Amin, yaitu orang yang terpercaya, jujur, dan setia.
Bersikap jujur menjadi perhatian utama dalam ajaran Islam. Jujur dalam kehidupan sehari-hari harus menjadi suatu kebiasaan bagi untuk umat Islam. Hal ini terlihat dalam beberapa ayat Al Quran yang secara rinci menganjurkan  umat Islam  untuk secara kaffah bersikap jujur dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Islam, yaitu :
1.      QS. Al-Maidah: 8:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan sekali-kali, janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

2.      QS. At-Taubah:119
“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

Kandungan ayat ini memerintahkan orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur, dan ikhlas karena Allah, terutama pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan dunia. Karena hanya dengan bersikap jujur, manusia dapat sukses dan memperoleh balasan yang setimpal dengan yang diharapkan.

Imam Al-Ghazali membagi sifat jujur atau benar sebagai berikut:
1.  Jujur dalam niat, yaitu dalam seriap tindakan dan geraknya, manusia tidak boleh       memiliki dorongan lain selain karena Allah.
 2.  Jujur dalam perkataan, yaitu manusia harus dapat memelihara perkataannya.  
      Setiap   ucapan yang   keluar dari mulutnya  harus sesuai dengan kenyataan yang
      didengar dan dilihatnya.  HOAX  termasuk produk manusia yang bersikap tidak 
      jujur.
3.  Jujur dalam perbuatan, yaitu beramal dengan sungguh-sungguh sehingga setiap
      tindakan tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya.

Nabi Muhammad Saw adalah contoh nyata dari manusia sempurna dalam hal penerapan sikap jujur dalam kehidupan dan teladan dalam hal penghormatan kepada sikap jujur. Salah satu faktor yang menyebabkan keberhasilan Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat Islam adalah karena sifat-sifat dan akhlaknya yang sangat terpuji. Salah satu sifat Nabi Muhammad yang selalu diingat oleh masyarakat Quraisy adalah kejujurannya. Ini terbaca dibanyak cerita-cerita yang berkembang di masyarakat Islam Mekkah.

Sabtu, 08 Desember 2018

RIA


            DI BAWAH guyuran sinar matahari yang mendidih, Ria menyeka dahinya. Lalu lintas di sekitar halte itu ramai sekali. Orang-orang bergegas tak peduli. wanita itu pun tidak peduli.
“Jika aku juga harus pergi sekarang, kemana aku melangkah?”
Ia tercenung. Kebimbangan bagaikan kerikil-kerikil tajam yang menimpuki hatinya. Kecemasan bagaikan gas beracun yang terhirup ke dalam paru-parunya.
“Haruskah aku meninggalkan mereka?”

Ria tak bisa meneguhkan keputusannya. Jika ia ingin membatalkan keputusan itu sekarang dan kembali pulang adalah sama sekali bukan karena Joko, tapi karena kerinduan pada anaknya diam-diam mulai membasahi kelopak matanya. Ia tidak ingin lagi berjumpa dengan lelaki itu. Ia benci lelaki itu.

“Tidak!”katanya dalam hati.”Saya tidak mungkin rujuk kembali.”

Ketegaran kian tempias di wajahnya. Debu beterbangan, lalu menyatu dengan keringat yang merambat di seluruh pori kulitnya. Matahari menukik. Dan Ria kian gigih, tak beranjak. Ia tak ingin kembali pulang. Setelah pertengkaran terakhirnya yang menghanguskan rumah tangganya itu, Ria meninggalkan rumah tanpa pamit.
“Saya tak tahan lagi,”katanya pada Leni, temannya.

Leni heran, tak mengerti. Ia benar-benar heran karena selama ini tampaknya Ria dan Joko baik-baik saja, tak pernah terdengar hal yang aneh-aneh. Mereka senantiasa tampak mesra di pesta-pesta atau pertemuan-pertemuan lainnya.

Tapi,  kini, tiba-tiba, Ria datang dan menumpahkan kekalutan hatinya sambil menangis.

“Ria,”kata Leni takjub.”Benarkah yang kudengar ini?”
Ria tak menjawab. Hanya air matanya meleleh deras di pipinya.

“Apa yang telah terjadi?”tanya Leni hati-hati.
Kita sering merasa heran menyaksikan mengapa suatu perkawinan yang selama ini tampak baik-baik saja, tiba-tiba pecah berantakan tak terkendalikan lagi dan berakhir dengan perceraian. Kita tak pernah tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya. Tak mudah untuk memahami persoalannya, tapi adakah perceraian, hanya disebabkan persoalan-persoalan kecil?

Perceraian memang terasa sangat menyakitkan, kata seorang psikolog. Tak seorang pun ingin mengalaminya. Memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang dihalalkan Tuhan tetapi sekaligus juga dibenci-Nya.

Apa pun yang terjadi, perceraian tidak pernah menyelesaikan masalah. Ia merupakan awal dari suatu masalah baru karena kian rumitnya kompleksitas jiwa seseorang yang pernah mengalaminya.
Perceraian bukanlah jalan yang terbaik. Perceraian hanya merupakan jalan yang terakhir.

Tapi, benarkah tak ada jalan lain? Benarkah setiap pertengkaran yang terjadi dalam rumah  tangga tidak dapat diselesaikan? Benarkah ada perbedaan yang tak mungkin diserasikan kembali? Tak mudah memang untuk menjawabnya. Sebab tak jarang hati yang terlanjur luka akan abadi terasa perihnya. Dan luka yang perih itu tak jarang membuat seseorang tak mampu memaafkan orang lain. Itulah trauma yang membuat seseorang senantiasa merasa takut, bukan karena peristiwa buruk yang pernah dialaminya, tetapi justru pada peristiwa serupa yang belum terjadi sama sekali.

“Jika kau anggap persoalannya tidak menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil dalam hidupmu, tidakkah memaafkan jauh lebih baik dari perceraian?”kata Leni.

Dan kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinganya ketika Ria masih terpaku di halte itu.

“Saya bukannya tak mau memaafkan,”kata hatinya.”Sebenarnya saya hanya takut kalau sewaktu-waktu ia mengulanginya lagi.”
Sudah malam. Seorang wanita beranjak dari halte itu. Tak ada yang tahu, apa yang terjadi dalam rumah tangganya dan orang-orang memang tidak peduli. Semua tak peduli. Wanita itu bingung hendak kemana ia melangkahkan kaki.

Jumat, 07 Desember 2018

T I A


“Saya mengharapkan dia akan berubah.”

“Mengapa?”

“Karena saya mencintai dia,”ujar Tia sendu.

Ia memang sangat mencintai lelaki itu. Sejak pertama kali bertemu di kampus, Tia jatuh cinta pada Jodi. Hatinya bergetar waktu itu. Satu bisikan yang maha halus dan lembut tumbuh dalam dirinya. Membisikan bahwa Jodilah yang akan menjadi suaminya. Adakah cinta memang merupakan getaran-getaran yang tak mudah dimengerti? Adakah cinta memang misteri?
Hanya tiga bulan kemudian, mereka memasuki jenjang pernikahan. Begitu cepat proses perkenalan yang mereka alami, tapi seakan-akan sudah bertahun-tahun mereka saling menjajaki.

“Jika cinta dan lelaki mesti dianalisis dulu dengan sangat teliti, kita tidak akan mungkin mempunyai jodoh,”kata Tia dulu ketika seorang teman mengingatkannya supaya meneliti Jodi lebih dulu sebelum menerima lamarannya. Sebab semua teman di kampus tahu, Jodi bukanlah lelaki yang alim dan latar belakang keluarganya pun berkeping-keping.
“Jangan melihat latar belakang sejarah keluarganya karena kita   tidak menikah dengan keluarganya tapi dengan dirinya sendiri sebagai individu. Tidak selalu seorang lelaki yang berasal dari keluarga broken home akan mempunyai sifat-sifat buruk pula. Seseorang akan berubah apabila kita mencintainya dengan tulus,”ujar Tia lagi.
Tia menolak  menghakimi seseorang sebelum mengenalnya dengan baik. Dan Jodi, di matanya, adalah seorang lelaki yang hangat dan  calon suami yang baik. Mengapa Mella, temannya itu, ikut campur dalam menentukan pilihan-pilihan yang menyangkut masa depannya sendiri?

“Setidaknya kau adalah temanku, Tia,”kata Mella,”Saya tahu, kita tidak boleh menghakimi seseorang akan mempunyai tingkah laku yang buruk pula, apabila berasal dari keluarga broken home, sama halnya dengan menjamin ia pasti baik. Saya hanya ingin mengingatkan agar kau sedikit berhati-hati dan mencoba mengenal Jodi lebih baik. Keputusan untuk memasuki jenjang pernikahan yang telah kalian putuskan, menurut saya, memang agak terlalu cepat.”

Tia dan Mella sedang duduk-duduk di rerumputan sore itu, menunggu kuliah berikutnya. Angin mengalir pelan dan matahari sore membiaskan kehangatan lewat celah-celah cemara yang berbaris rapi di kampus itu. 

“Mengenal pribadi seseorang dengan lebih baik, terutama pikiran dan pandangannya sehari-hari, saya kira itulah yang terpenting,”sambung Mella.

“Tapi, bukankah seseorang bisa berubah dan akan selalu berubah,”kata Tia.

“Begitu mudahkan seseorang mengubah hal-hal prinsip dalam hidupnya?”

Tia terdiam. Ia enggan menanggapi Mella lagi. Entah mengapa, kali ini ia benar-benar jatuh cinta pada Jodi, sekalipun ia pernah mendengar bahwa Jodi mempunyai citra yang kurang baik dalam bercinta. Ia mencintai Jodi, sangat mencintainya. Ia takut kehilangan lelaki itu dan ia pikir hal-hal lain bisa diperbaiki nanti. Yang penting, janganlah percintaan ini menjadi putus dan Jodi lepas.

“Jika wanita terlalu berharap pasangannya akan berubah pada suatu saat, sesungguhnya ia termasuk woman who love too much,”kata Robin Norwood dalam bukunya dengan judul yang sama seperti itu, Woman Who Love Too, 1985.”Dan cinta yang berlebihan memang tidak lagi rasional. Maka, ia pun akan jatuh dalam penderitaan yang teramat panjang. Padahal kita tahu, cinta selalu bermula secara emosional dan kemudian, setelah memasuki pernikahan, akan berubah menjadi rasional.”

Masih juga sampai hari ini, banyak wanita yang kurang percaya bahwa jodoh benar-benar bukan wewenangnya sama sekali. Karena itu banyak wanita yang enggan menggunakan rasionya di awal-awal percintaannya. Mereka takut kehilangan. Juga bagi Tia waktu itu.

Sumber: Republika