Jumat, 07 Desember 2018

T I A


“Saya mengharapkan dia akan berubah.”

“Mengapa?”

“Karena saya mencintai dia,”ujar Tia sendu.

Ia memang sangat mencintai lelaki itu. Sejak pertama kali bertemu di kampus, Tia jatuh cinta pada Jodi. Hatinya bergetar waktu itu. Satu bisikan yang maha halus dan lembut tumbuh dalam dirinya. Membisikan bahwa Jodilah yang akan menjadi suaminya. Adakah cinta memang merupakan getaran-getaran yang tak mudah dimengerti? Adakah cinta memang misteri?
Hanya tiga bulan kemudian, mereka memasuki jenjang pernikahan. Begitu cepat proses perkenalan yang mereka alami, tapi seakan-akan sudah bertahun-tahun mereka saling menjajaki.

“Jika cinta dan lelaki mesti dianalisis dulu dengan sangat teliti, kita tidak akan mungkin mempunyai jodoh,”kata Tia dulu ketika seorang teman mengingatkannya supaya meneliti Jodi lebih dulu sebelum menerima lamarannya. Sebab semua teman di kampus tahu, Jodi bukanlah lelaki yang alim dan latar belakang keluarganya pun berkeping-keping.
“Jangan melihat latar belakang sejarah keluarganya karena kita   tidak menikah dengan keluarganya tapi dengan dirinya sendiri sebagai individu. Tidak selalu seorang lelaki yang berasal dari keluarga broken home akan mempunyai sifat-sifat buruk pula. Seseorang akan berubah apabila kita mencintainya dengan tulus,”ujar Tia lagi.
Tia menolak  menghakimi seseorang sebelum mengenalnya dengan baik. Dan Jodi, di matanya, adalah seorang lelaki yang hangat dan  calon suami yang baik. Mengapa Mella, temannya itu, ikut campur dalam menentukan pilihan-pilihan yang menyangkut masa depannya sendiri?

“Setidaknya kau adalah temanku, Tia,”kata Mella,”Saya tahu, kita tidak boleh menghakimi seseorang akan mempunyai tingkah laku yang buruk pula, apabila berasal dari keluarga broken home, sama halnya dengan menjamin ia pasti baik. Saya hanya ingin mengingatkan agar kau sedikit berhati-hati dan mencoba mengenal Jodi lebih baik. Keputusan untuk memasuki jenjang pernikahan yang telah kalian putuskan, menurut saya, memang agak terlalu cepat.”

Tia dan Mella sedang duduk-duduk di rerumputan sore itu, menunggu kuliah berikutnya. Angin mengalir pelan dan matahari sore membiaskan kehangatan lewat celah-celah cemara yang berbaris rapi di kampus itu. 

“Mengenal pribadi seseorang dengan lebih baik, terutama pikiran dan pandangannya sehari-hari, saya kira itulah yang terpenting,”sambung Mella.

“Tapi, bukankah seseorang bisa berubah dan akan selalu berubah,”kata Tia.

“Begitu mudahkan seseorang mengubah hal-hal prinsip dalam hidupnya?”

Tia terdiam. Ia enggan menanggapi Mella lagi. Entah mengapa, kali ini ia benar-benar jatuh cinta pada Jodi, sekalipun ia pernah mendengar bahwa Jodi mempunyai citra yang kurang baik dalam bercinta. Ia mencintai Jodi, sangat mencintainya. Ia takut kehilangan lelaki itu dan ia pikir hal-hal lain bisa diperbaiki nanti. Yang penting, janganlah percintaan ini menjadi putus dan Jodi lepas.

“Jika wanita terlalu berharap pasangannya akan berubah pada suatu saat, sesungguhnya ia termasuk woman who love too much,”kata Robin Norwood dalam bukunya dengan judul yang sama seperti itu, Woman Who Love Too, 1985.”Dan cinta yang berlebihan memang tidak lagi rasional. Maka, ia pun akan jatuh dalam penderitaan yang teramat panjang. Padahal kita tahu, cinta selalu bermula secara emosional dan kemudian, setelah memasuki pernikahan, akan berubah menjadi rasional.”

Masih juga sampai hari ini, banyak wanita yang kurang percaya bahwa jodoh benar-benar bukan wewenangnya sama sekali. Karena itu banyak wanita yang enggan menggunakan rasionya di awal-awal percintaannya. Mereka takut kehilangan. Juga bagi Tia waktu itu.

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar