“Saya mengharapkan dia akan berubah.”
“Mengapa?”
“Karena saya mencintai dia,”ujar Tia sendu.
Ia memang sangat mencintai lelaki itu. Sejak pertama
kali bertemu di kampus, Tia jatuh cinta pada Jodi. Hatinya bergetar waktu itu.
Satu bisikan yang maha halus dan lembut tumbuh dalam dirinya. Membisikan bahwa
Jodilah yang akan menjadi suaminya. Adakah cinta memang merupakan
getaran-getaran yang tak mudah dimengerti? Adakah cinta memang misteri?
Hanya tiga bulan kemudian, mereka memasuki jenjang
pernikahan. Begitu cepat proses perkenalan yang mereka alami, tapi seakan-akan
sudah bertahun-tahun mereka saling menjajaki.
“Jika cinta dan lelaki mesti dianalisis dulu dengan
sangat teliti, kita tidak akan mungkin mempunyai jodoh,”kata Tia dulu ketika
seorang teman mengingatkannya supaya meneliti Jodi lebih dulu sebelum menerima
lamarannya. Sebab semua teman di kampus tahu, Jodi bukanlah lelaki yang alim
dan latar belakang keluarganya pun berkeping-keping.
“Jangan melihat latar belakang sejarah keluarganya
karena kita tidak menikah dengan
keluarganya tapi dengan dirinya sendiri sebagai individu. Tidak selalu seorang
lelaki yang berasal dari keluarga broken
home akan mempunyai sifat-sifat buruk pula. Seseorang akan berubah apabila
kita mencintainya dengan tulus,”ujar Tia lagi.
Tia menolak
menghakimi seseorang sebelum mengenalnya dengan baik. Dan Jodi, di
matanya, adalah seorang lelaki yang hangat dan
calon suami yang baik. Mengapa Mella, temannya itu, ikut campur dalam
menentukan pilihan-pilihan yang menyangkut masa depannya sendiri?
“Setidaknya kau adalah temanku, Tia,”kata Mella,”Saya
tahu, kita tidak boleh menghakimi seseorang akan mempunyai tingkah laku yang
buruk pula, apabila berasal dari keluarga broken
home, sama halnya dengan menjamin ia pasti baik. Saya hanya ingin
mengingatkan agar kau sedikit berhati-hati dan mencoba mengenal Jodi lebih
baik. Keputusan untuk memasuki jenjang pernikahan yang telah kalian putuskan,
menurut saya, memang agak terlalu cepat.”
Tia dan Mella sedang duduk-duduk di rerumputan sore
itu, menunggu kuliah berikutnya. Angin mengalir pelan dan matahari sore
membiaskan kehangatan lewat celah-celah cemara yang berbaris rapi di kampus
itu.
“Mengenal pribadi seseorang dengan lebih baik,
terutama pikiran dan pandangannya sehari-hari, saya kira itulah yang
terpenting,”sambung Mella.
“Tapi, bukankah seseorang bisa berubah dan akan selalu
berubah,”kata Tia.
“Begitu mudahkan seseorang mengubah hal-hal prinsip
dalam hidupnya?”
Tia terdiam. Ia enggan menanggapi Mella lagi. Entah
mengapa, kali ini ia benar-benar jatuh cinta pada Jodi, sekalipun ia pernah
mendengar bahwa Jodi mempunyai citra yang kurang baik dalam bercinta. Ia
mencintai Jodi, sangat mencintainya. Ia takut kehilangan lelaki itu dan ia pikir
hal-hal lain bisa diperbaiki nanti. Yang penting, janganlah percintaan ini menjadi
putus dan Jodi lepas.
“Jika wanita terlalu berharap pasangannya akan berubah
pada suatu saat, sesungguhnya ia termasuk woman
who love too much,”kata Robin Norwood dalam bukunya dengan judul yang sama
seperti itu, Woman Who Love Too, 1985.”Dan
cinta yang berlebihan memang tidak lagi rasional. Maka, ia pun akan jatuh dalam
penderitaan yang teramat panjang. Padahal kita tahu, cinta selalu bermula
secara emosional dan kemudian, setelah memasuki pernikahan, akan berubah
menjadi rasional.”
Masih juga sampai hari ini, banyak wanita yang kurang
percaya bahwa jodoh benar-benar bukan wewenangnya sama sekali. Karena itu
banyak wanita yang enggan menggunakan rasionya di awal-awal percintaannya.
Mereka takut kehilangan. Juga bagi Tia waktu itu.
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar