DI BAWAH guyuran sinar matahari yang mendidih, Ria
menyeka dahinya. Lalu lintas di sekitar halte itu ramai sekali. Orang-orang
bergegas tak peduli. wanita itu pun tidak peduli.
“Jika aku juga harus pergi sekarang, kemana aku
melangkah?”
Ia tercenung. Kebimbangan bagaikan kerikil-kerikil
tajam yang menimpuki hatinya. Kecemasan bagaikan gas beracun yang terhirup ke
dalam paru-parunya.
“Haruskah aku meninggalkan mereka?”
Ria tak bisa meneguhkan keputusannya. Jika ia ingin
membatalkan keputusan itu sekarang dan kembali pulang adalah sama sekali bukan
karena Joko, tapi karena kerinduan pada anaknya diam-diam mulai membasahi
kelopak matanya. Ia tidak ingin lagi berjumpa dengan lelaki itu. Ia benci
lelaki itu.
“Tidak!”katanya dalam hati.”Saya tidak mungkin rujuk
kembali.”
Ketegaran kian tempias di wajahnya. Debu beterbangan,
lalu menyatu dengan keringat yang merambat di seluruh pori kulitnya. Matahari
menukik. Dan Ria kian gigih, tak beranjak. Ia tak ingin kembali pulang. Setelah
pertengkaran terakhirnya yang menghanguskan rumah tangganya itu, Ria
meninggalkan rumah tanpa pamit.
“Saya tak tahan lagi,”katanya pada Leni, temannya.
Leni heran, tak mengerti. Ia benar-benar heran karena
selama ini tampaknya Ria dan Joko baik-baik saja, tak pernah terdengar hal yang
aneh-aneh. Mereka senantiasa tampak mesra di pesta-pesta atau
pertemuan-pertemuan lainnya.
Tapi, kini,
tiba-tiba, Ria datang dan menumpahkan kekalutan hatinya sambil menangis.
“Ria,”kata Leni takjub.”Benarkah yang kudengar ini?”
Ria tak menjawab. Hanya air matanya meleleh deras di
pipinya.
“Apa yang telah terjadi?”tanya Leni hati-hati.
Kita sering merasa heran menyaksikan mengapa suatu
perkawinan yang selama ini tampak baik-baik saja, tiba-tiba pecah berantakan
tak terkendalikan lagi dan berakhir dengan perceraian. Kita tak pernah tahu,
apa yang telah terjadi sebenarnya. Tak mudah untuk memahami persoalannya, tapi adakah
perceraian, hanya disebabkan persoalan-persoalan kecil?
Perceraian memang terasa sangat menyakitkan, kata
seorang psikolog. Tak seorang pun ingin mengalaminya. Memang perceraian adalah
satu-satunya jalan yang dihalalkan Tuhan tetapi sekaligus juga dibenci-Nya.
Apa pun yang terjadi, perceraian tidak pernah
menyelesaikan masalah. Ia merupakan awal dari suatu masalah baru karena kian
rumitnya kompleksitas jiwa seseorang yang pernah mengalaminya.
Perceraian bukanlah jalan yang terbaik. Perceraian
hanya merupakan jalan yang terakhir.
Tapi, benarkah tak ada jalan lain? Benarkah setiap
pertengkaran yang terjadi dalam rumah
tangga tidak dapat diselesaikan? Benarkah ada perbedaan yang tak mungkin
diserasikan kembali? Tak mudah memang untuk menjawabnya. Sebab tak jarang hati
yang terlanjur luka akan abadi terasa perihnya. Dan luka yang perih itu tak
jarang membuat seseorang tak mampu memaafkan orang lain. Itulah trauma yang
membuat seseorang senantiasa merasa takut, bukan karena peristiwa buruk yang
pernah dialaminya, tetapi justru pada peristiwa serupa yang belum terjadi sama
sekali.
“Jika kau anggap persoalannya tidak menyangkut hal-hal
yang sangat prinsipil dalam hidupmu, tidakkah memaafkan jauh lebih baik dari
perceraian?”kata Leni.
Dan kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinganya
ketika Ria masih terpaku di halte itu.
“Saya bukannya tak mau memaafkan,”kata
hatinya.”Sebenarnya saya hanya takut kalau sewaktu-waktu ia mengulanginya
lagi.”
Sudah malam. Seorang wanita beranjak dari halte itu.
Tak ada yang tahu, apa yang terjadi dalam rumah tangganya dan orang-orang
memang tidak peduli. Semua tak peduli. Wanita itu bingung hendak kemana ia
melangkahkan kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar