Sabtu, 08 Desember 2018

RIA


            DI BAWAH guyuran sinar matahari yang mendidih, Ria menyeka dahinya. Lalu lintas di sekitar halte itu ramai sekali. Orang-orang bergegas tak peduli. wanita itu pun tidak peduli.
“Jika aku juga harus pergi sekarang, kemana aku melangkah?”
Ia tercenung. Kebimbangan bagaikan kerikil-kerikil tajam yang menimpuki hatinya. Kecemasan bagaikan gas beracun yang terhirup ke dalam paru-parunya.
“Haruskah aku meninggalkan mereka?”

Ria tak bisa meneguhkan keputusannya. Jika ia ingin membatalkan keputusan itu sekarang dan kembali pulang adalah sama sekali bukan karena Joko, tapi karena kerinduan pada anaknya diam-diam mulai membasahi kelopak matanya. Ia tidak ingin lagi berjumpa dengan lelaki itu. Ia benci lelaki itu.

“Tidak!”katanya dalam hati.”Saya tidak mungkin rujuk kembali.”

Ketegaran kian tempias di wajahnya. Debu beterbangan, lalu menyatu dengan keringat yang merambat di seluruh pori kulitnya. Matahari menukik. Dan Ria kian gigih, tak beranjak. Ia tak ingin kembali pulang. Setelah pertengkaran terakhirnya yang menghanguskan rumah tangganya itu, Ria meninggalkan rumah tanpa pamit.
“Saya tak tahan lagi,”katanya pada Leni, temannya.

Leni heran, tak mengerti. Ia benar-benar heran karena selama ini tampaknya Ria dan Joko baik-baik saja, tak pernah terdengar hal yang aneh-aneh. Mereka senantiasa tampak mesra di pesta-pesta atau pertemuan-pertemuan lainnya.

Tapi,  kini, tiba-tiba, Ria datang dan menumpahkan kekalutan hatinya sambil menangis.

“Ria,”kata Leni takjub.”Benarkah yang kudengar ini?”
Ria tak menjawab. Hanya air matanya meleleh deras di pipinya.

“Apa yang telah terjadi?”tanya Leni hati-hati.
Kita sering merasa heran menyaksikan mengapa suatu perkawinan yang selama ini tampak baik-baik saja, tiba-tiba pecah berantakan tak terkendalikan lagi dan berakhir dengan perceraian. Kita tak pernah tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya. Tak mudah untuk memahami persoalannya, tapi adakah perceraian, hanya disebabkan persoalan-persoalan kecil?

Perceraian memang terasa sangat menyakitkan, kata seorang psikolog. Tak seorang pun ingin mengalaminya. Memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang dihalalkan Tuhan tetapi sekaligus juga dibenci-Nya.

Apa pun yang terjadi, perceraian tidak pernah menyelesaikan masalah. Ia merupakan awal dari suatu masalah baru karena kian rumitnya kompleksitas jiwa seseorang yang pernah mengalaminya.
Perceraian bukanlah jalan yang terbaik. Perceraian hanya merupakan jalan yang terakhir.

Tapi, benarkah tak ada jalan lain? Benarkah setiap pertengkaran yang terjadi dalam rumah  tangga tidak dapat diselesaikan? Benarkah ada perbedaan yang tak mungkin diserasikan kembali? Tak mudah memang untuk menjawabnya. Sebab tak jarang hati yang terlanjur luka akan abadi terasa perihnya. Dan luka yang perih itu tak jarang membuat seseorang tak mampu memaafkan orang lain. Itulah trauma yang membuat seseorang senantiasa merasa takut, bukan karena peristiwa buruk yang pernah dialaminya, tetapi justru pada peristiwa serupa yang belum terjadi sama sekali.

“Jika kau anggap persoalannya tidak menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil dalam hidupmu, tidakkah memaafkan jauh lebih baik dari perceraian?”kata Leni.

Dan kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinganya ketika Ria masih terpaku di halte itu.

“Saya bukannya tak mau memaafkan,”kata hatinya.”Sebenarnya saya hanya takut kalau sewaktu-waktu ia mengulanginya lagi.”
Sudah malam. Seorang wanita beranjak dari halte itu. Tak ada yang tahu, apa yang terjadi dalam rumah tangganya dan orang-orang memang tidak peduli. Semua tak peduli. Wanita itu bingung hendak kemana ia melangkahkan kaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar