Sabtu, 27 Agustus 2011

Inilah Ramadhan yang Kuimpikan


Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua.

Sungguh menyebalkan! Anak itu berjalan keliling kampung dengan tangan kanan memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut.

Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya.

Orang-orang kampung tidak berani melarang bocah kecil itu. Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan.

Lalu seorang tokoh masyarakat memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setelah shalat Zuhur, anak itu pasti muncul. Bocah itu tampil dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama!

Tidak lama menunggu, akhirnya bocah itu muncul. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah. Setelah ditegur, bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar.

“Bismillah.. .” ucap Sang tokoh masyarakat tadi sambil mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Kalau memang bocah itu “jadi-jadian”, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini, tapi kalau memang bocah itu “bocah beneran” pun, ia akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.

Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak melemah. Dengan segera ia menyeret dengan halus bocah itu dan membawanya ke rumah. Penduduk kampung yang melihat kejadian itu segera mengikuti.

“Ada apa bapak melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?” tanya bocah itu seakan-akan tahu pikiran sang tuan rumah.

“Maaf ya, itu karena kamu melakukannya di bulan puasa,” jawab Sang tokoh masyarakat dengan halus,”Apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.”

Sebenarnya Sang tokoh masyarakat masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak kecil itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri dan  menatap Sang tokoh masyarakat lebih tajam lagi, dan berkata dengan lantang.

“Itu kan yang sering kalian lakukan juga kepada kami!
Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?
Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput?
Bukankah bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian?”

Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar “sangat” menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.

“Ketahuilah pak, kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.

Sumber : mediaindonesia.com
Dan ketahuilah juga, justru bapak dan orang-orang di sekeliling bapak lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri, kembali ke fitrah meraih kemenangan?

Kalian dengan bangganya menunaikan ibadah umrah yang sunah di bulan Ramadhan dengan harapan mendapatkan lailatul qadar dengan meninggalkan kami disini yang kedinginan dan kelaparan mengarungi malam, lalu kalian dengan bangganya pulang dan mengatakan bahwa kalian mendapatkan lailatul qadar di Masjidil Haram dan minta dipanggil sebagai haji atau hajjah, padahal uang kalian bisa membantu kami ketimbang digunakan bolak balik ke Mekkah! Bukankah Allah ada dimana-mana? Bukankah Nabi kalian hanya satu kali haji dan dua kali umrah sepanjang hidupnya dan menetap di Madinah bukan di Mekah!

Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri ?

Pak, sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula ya sekedarnya biar dianggap dermawan dan peduli, bahkan diantara kalian menjadikan kami sebagai komoditi !

Pak, kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami!

Pak, sadarkah Bapak akan ketidakabadian harta?
Sadarkah apa yang terjadi bila bapak dan orang-orang sekeliling bapak tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya bapak dan orang-orang di sekeliling bapak bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.

Tahukah Bapak akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?

Pak.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi.

Jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan ‘tuk setahun, Jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak….”

Setelah menyelesaikan ucapannya, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Sang tokoh masyarakat dan penduduk kampung yang mengintip dari jendela.


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/27/bocah-misterius-di-bulan-ramadhan/

Kamis, 04 Agustus 2011

Inilah Kalimat yang Mengikat Kita

Inilah Kalimat yang Menyatukan Umat Islam

Masjid dan Pusat Islam di Eropa dan Amerika mempersatukan banyak sekali orang dari seluruh penjuru dunia. Sangat sering sebuah mesjid berisi kelompok-kelompok kultural tanpa ada satu pun yang mayoritas. Hal ini khususnya terjadi atas mesjid yang dikelola oleh kelompok mahasiswa di universitas-universitas Barat. Gabungan beragam kultural seperti itu menciptakan banyak  perbedaan pendapat yang bisa dengan sangat mudah berkembang menjadi perselisihan dan keretakan komunitas.

Perselisihan semacam itu terjadi pada satu malam di mesjid Universitas of San Fransisco. Saya tidak ingat penyebab pasti dari perselisihan itu. Kalau tak salah peristiwa itu berkenaan dengan setumpuk brosur anti-Syi’ah yang ditinggalkan di dalam mesjid oleh seseorang. Perselisihan itu terjadi sewaktu perang Iran-Iraq sedang memuncak dan banyak propaganda agama dan politik disebarkan oleh kedua kelompok yang sedang berkonflik dan sekutu-sekutu mereka. saya ingat dengan jelas betapa perselisihan itu berubah menjadi sangat panas.

Orang-orang Saudi sangat marah kepada orang-orang Kuwait dan Iran; mahasiswa-mahasiswa Pakistan bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Saudi. Orang-orang kulit putih AS membela orang-orang Iran; orang-orang kulit hitam melawan orang-orang kulit putih. Mahasiswa-mahasiswa Afrika Utara dan mahasiswa-mahasiswa Palestina tampaknya saling bertengkar satu sama lain dan juga dengan orang lainnya; mahasiswa Malaysia kelihatan ketakutan. Semua bentuk serangan pribadi dan ras sangat sengit dan dengki saling berbalasan.

“Kalian orang-orang Syiah kafir!”

“Kalian orang-orang Saudi menyembah raja kalian!”

“Apa yang diketahui orang-orang Amerika tentang Islam?”

“Orang-orang Pakistan hanyalah kacung orang-orang Saudi!”

“Bangsa kami adalah muslim jauh sebelum kalian, anak-anak kulit putih, menjadi muslim!”

“Kalian bangga menjadi pengikut Elijah Muhammad!”

“Orang-orang Palestina memang pantas beroleh apa yang mereka dapatkan!”

Wajah-wajah mereka memerah karena marah. Teriakan-teriakan menjadi bentakan yang mengancam. Mahasiswa-mahasiswa Amerika mengepalkan tinju dan menegangkan lengan, menyiapkan diri untuk berkelahi. Ini benar-benar akan menjadi akhir dari komunitas kami.

Dari seberang pojok ruangan itu, terdengar suara jeritan putus asa,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Itulah Ilyas, mahasiswa Indonesia yang pendek kurus dan pendiam. Ia jarang sekali berbicara. Ruangan itu pun menjadi senyap.

“Apa yang dikatakannya?”Beberapa orang saling bertanya satu sama lain.

Ilyas berteriak lagi sekuat-kuatnya: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Ucapkan!”Ilyas berteriak,”Ucapkan!”

Sebagian besar dari kami bergumam bingung: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Apa yang diinginkannya?”seseorang berbisik.

“Ucapkanlah sungguh-sungguh!”teriak Ilyas lagi.

Mungkin karena Ilyas mengucapkannya dengan sangat berwibawa atau dengan penuh semangat dan karena alasan tertentu, kami menuruti peerintah anggota jamaah mesjid kami ini, yang biasanya lembut dan tidak menonjol. Suara kami bertambah keras secara serempak bersama Ilyas yang memimpin kami,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kami bisa merasakan kebencian dan kemarahan menghilang. Semua mata tertuju kepada Ilyas. Segenap wajah dari orang-orang yang bersaudara itu kelihatan terpana. Sebagian dari mereka memperlihatkan rasa sedih, sebagian menyesal, dan sebagian lagi terlihat gembira. Sekarang seluruh kelompok membutuhkan Ilyas untuk membimbing.

“Lagi!”Ilyas meneriakkan,”Lagi!”

Kali ini kami semua bersuara dalam jeritan semangat yang bergelora,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kemudian kami teriakkan lagi, mengikuti bimbingan Ilyas,
“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Ilyas berhenti, berdiri mematung sejenak dengan berlinang air mata.

Ia memandang kami seperti anak kecil memandang kedua orang tuanya ketika ia menginginkan mereka berhenti bertengkar.

“Hanya itu saja, saudara-saudaraku!”Ilyas berkata, suaranya berubah.”Kalimat itulah yang mengikat kita!”

“Lihatlah Kami!”Ia berteriak, merentangkan kedua lengannya.

Hingga disitulah, orang-orang yang bersaudara itu secara perlahan mulai saling mendekati satu sama lain dengan raut wajah yang sangat malu. Suasana yang baru saja hampir meledak menjadi pertunjukan kekerasan kini berubah menjadi adegan jabat tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan maaf yang tulus. Hari berikutnya, mesjid berjalan normal lagi dan saya tidak pernah mendengar siapa pun memperbincangkan perselisihan lagi.

Cerita yang kukutip dari buku Bahkan Malaikat pun Bertanya karya Jeffrey Lang yang dikeluarkan oleh Penerbit Serambi diharapkan dapat menjadi bahan renungan bagi kita, umat Islam. Seandainya kita pun memahami makna kalimat yang mengikat kita, Insya Allah, tak akan lagi ada aksi kekerasan terhadap kelompok lain, tak akan lagi ada saling hujat antar pemahaman, dan tak akan ada lagi sikap curiga antar lembaga agama.

Seandainya saja ada banyak Ilyas yang mampu menjadi penyatu umat yang terpecah dalam aneka pemahaman, betapa kuat tangan yang mencengkeram kalimat yang mengikat kita.