Kamis, 04 Agustus 2011

Inilah Kalimat yang Mengikat Kita

Inilah Kalimat yang Menyatukan Umat Islam

Masjid dan Pusat Islam di Eropa dan Amerika mempersatukan banyak sekali orang dari seluruh penjuru dunia. Sangat sering sebuah mesjid berisi kelompok-kelompok kultural tanpa ada satu pun yang mayoritas. Hal ini khususnya terjadi atas mesjid yang dikelola oleh kelompok mahasiswa di universitas-universitas Barat. Gabungan beragam kultural seperti itu menciptakan banyak  perbedaan pendapat yang bisa dengan sangat mudah berkembang menjadi perselisihan dan keretakan komunitas.

Perselisihan semacam itu terjadi pada satu malam di mesjid Universitas of San Fransisco. Saya tidak ingat penyebab pasti dari perselisihan itu. Kalau tak salah peristiwa itu berkenaan dengan setumpuk brosur anti-Syi’ah yang ditinggalkan di dalam mesjid oleh seseorang. Perselisihan itu terjadi sewaktu perang Iran-Iraq sedang memuncak dan banyak propaganda agama dan politik disebarkan oleh kedua kelompok yang sedang berkonflik dan sekutu-sekutu mereka. saya ingat dengan jelas betapa perselisihan itu berubah menjadi sangat panas.

Orang-orang Saudi sangat marah kepada orang-orang Kuwait dan Iran; mahasiswa-mahasiswa Pakistan bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Saudi. Orang-orang kulit putih AS membela orang-orang Iran; orang-orang kulit hitam melawan orang-orang kulit putih. Mahasiswa-mahasiswa Afrika Utara dan mahasiswa-mahasiswa Palestina tampaknya saling bertengkar satu sama lain dan juga dengan orang lainnya; mahasiswa Malaysia kelihatan ketakutan. Semua bentuk serangan pribadi dan ras sangat sengit dan dengki saling berbalasan.

“Kalian orang-orang Syiah kafir!”

“Kalian orang-orang Saudi menyembah raja kalian!”

“Apa yang diketahui orang-orang Amerika tentang Islam?”

“Orang-orang Pakistan hanyalah kacung orang-orang Saudi!”

“Bangsa kami adalah muslim jauh sebelum kalian, anak-anak kulit putih, menjadi muslim!”

“Kalian bangga menjadi pengikut Elijah Muhammad!”

“Orang-orang Palestina memang pantas beroleh apa yang mereka dapatkan!”

Wajah-wajah mereka memerah karena marah. Teriakan-teriakan menjadi bentakan yang mengancam. Mahasiswa-mahasiswa Amerika mengepalkan tinju dan menegangkan lengan, menyiapkan diri untuk berkelahi. Ini benar-benar akan menjadi akhir dari komunitas kami.

Dari seberang pojok ruangan itu, terdengar suara jeritan putus asa,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Itulah Ilyas, mahasiswa Indonesia yang pendek kurus dan pendiam. Ia jarang sekali berbicara. Ruangan itu pun menjadi senyap.

“Apa yang dikatakannya?”Beberapa orang saling bertanya satu sama lain.

Ilyas berteriak lagi sekuat-kuatnya: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Ucapkan!”Ilyas berteriak,”Ucapkan!”

Sebagian besar dari kami bergumam bingung: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Apa yang diinginkannya?”seseorang berbisik.

“Ucapkanlah sungguh-sungguh!”teriak Ilyas lagi.

Mungkin karena Ilyas mengucapkannya dengan sangat berwibawa atau dengan penuh semangat dan karena alasan tertentu, kami menuruti peerintah anggota jamaah mesjid kami ini, yang biasanya lembut dan tidak menonjol. Suara kami bertambah keras secara serempak bersama Ilyas yang memimpin kami,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kami bisa merasakan kebencian dan kemarahan menghilang. Semua mata tertuju kepada Ilyas. Segenap wajah dari orang-orang yang bersaudara itu kelihatan terpana. Sebagian dari mereka memperlihatkan rasa sedih, sebagian menyesal, dan sebagian lagi terlihat gembira. Sekarang seluruh kelompok membutuhkan Ilyas untuk membimbing.

“Lagi!”Ilyas meneriakkan,”Lagi!”

Kali ini kami semua bersuara dalam jeritan semangat yang bergelora,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kemudian kami teriakkan lagi, mengikuti bimbingan Ilyas,
“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Ilyas berhenti, berdiri mematung sejenak dengan berlinang air mata.

Ia memandang kami seperti anak kecil memandang kedua orang tuanya ketika ia menginginkan mereka berhenti bertengkar.

“Hanya itu saja, saudara-saudaraku!”Ilyas berkata, suaranya berubah.”Kalimat itulah yang mengikat kita!”

“Lihatlah Kami!”Ia berteriak, merentangkan kedua lengannya.

Hingga disitulah, orang-orang yang bersaudara itu secara perlahan mulai saling mendekati satu sama lain dengan raut wajah yang sangat malu. Suasana yang baru saja hampir meledak menjadi pertunjukan kekerasan kini berubah menjadi adegan jabat tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan maaf yang tulus. Hari berikutnya, mesjid berjalan normal lagi dan saya tidak pernah mendengar siapa pun memperbincangkan perselisihan lagi.

Cerita yang kukutip dari buku Bahkan Malaikat pun Bertanya karya Jeffrey Lang yang dikeluarkan oleh Penerbit Serambi diharapkan dapat menjadi bahan renungan bagi kita, umat Islam. Seandainya kita pun memahami makna kalimat yang mengikat kita, Insya Allah, tak akan lagi ada aksi kekerasan terhadap kelompok lain, tak akan lagi ada saling hujat antar pemahaman, dan tak akan ada lagi sikap curiga antar lembaga agama.

Seandainya saja ada banyak Ilyas yang mampu menjadi penyatu umat yang terpecah dalam aneka pemahaman, betapa kuat tangan yang mencengkeram kalimat yang mengikat kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar