Minggu, 16 September 2012

Dari Warung ini, Kalian Bisa Kuliah



Setiap pagi, Mimih, perempuan menjelang tujuh puluh tahun itu, masih dengan setia membuka warung kelontong peninggalan suaminya. Dulu, mereka berdua, suami istri, bahu membahu membesarkan usaha warung pecah belahnya demi membiayai kehidupan keluarganya. Dengan hanya berjualan sayur mayur dan kebutuhan sehari-hari, kelima anaknya dapat melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

Dan ketika sang suami meninggal, Mimih pun terus berjualan untuk menghidupi anak-anaknya hingga semua anaknya dapat menyelesaikan pendidikan mereka.

Doa Seorang Ibu, Jembatan Seorang Anak
Ketika kelima anaknya telah mapan dan berkeluarga, Mimih tetap berjualan. Meski warung kelontongnya telah diserahkan ke anak sulungnya, Mimih masih sibuk membungkus gula kiloan, menimbang beras, menyapih ulat yang mengerubungi ikan asin, dan banyak kesibukan lain.

Pernah kami, anak-anaknya, bersepakat untuk menjauhkan Mimih dari kesibukan berjualan. Kami ingin Mimih menikmati masa tuanya dengan bersantai di rumah dan bermain dengan cucu-cucunya. Toh, tak ada lagi beban yang harus ditanggung beliau.

“Bukannya Mimih ini kemaruk harta, bukan. Bukannya mimih ini takut kehilangan pendapatan, bukan. Bukannya Mimih ini tidak rela kehilangan warung tua ini, bukan.

Terus terang Mimih terkadang capek mengurus semuanya, setiap malam Mimih harus mengolesi tangan dan kaki dengan minyak agar capeknya tak terasa, Mimih pun sering merasa jenuh. Itu Mimih akui.

Tapi, ingat saja. Dari warung inilah kalian bisa makan, bisa membeli pakaian, bisa bersekolah, dan dari warung ini pula Mimih bisa naik haji. Jadi selama Mimih masih hidup, masih bisa bergerak, tolong jangan larang Mimih untuk ke warung karena inilah sumber kebahagiaan bagi Mimih.”

Hingga kini Mimih masih setia dengan aktivitas kesehariannya dan kami, anak-anaknya, tak pernah lagi mengusik ladang kebahagiannya karena Kami akhirnya faham kalau kebahagiaan Mimih adalah tetap bisa berkurban setiap Idhul Adha tanpa mengharap uang dari anak-anaknya, tetap bisa bersedekah tanpa mengharap uang dari anak-anaknya, tetap bisa mengirimi anak-anaknya hadiah lebaran tanpa mengharap uang dari anak-anaknya.

Terima kasih, Mih. Tanpa perjuangan dan kerja keras Mimih dan Bapak, Kami, kelima anakmu, tak akan pernah jadi seperti sekarang ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar