PENGAJAR, Mereka yang Dibutuhkan Negeri Ini...
Program dari ”Indonesia Mengajar” yang digagas Anies Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina, Jakarta bertujuan merekrut generasi muda terbaik untuk menjadi guru SD di daerah terpencil. Ide dasarnya adalah masih banyaknya sekolah dasar di daerah terpencil yang dibimbing guru-guru yang kualitas tidak sesuai dengan standar. ”Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia sulit maju,” kata Anies Baswedan.
Bukanlah suatu keanehan melihat dunia pendidikan di negeri ini, atau mungkin saja ada pula di sudut lain dunia yang penulis tidak ketahui, yang membuat miris, trenyuh, atau bahkan terkesima. Dari pengalaman penulis sebagai tenaga auditor asset Pemerintah Daerah di Musi Rawas, Sumatera Selatan--sekarang penulis aktif di lembaga yang berhubungan dengan dunia pendidikan, terutama pendidikan di daerah terpencil—penyataan Anies Baswedan sebenarnya cerita lama.
Penulis pernah mengunjungi satu sekolah di salah satu desa yang lokasinya sangat sulit dijangkau. Penulis menggunakan kendaraan double gardan untuk sampai ke lokasi sekolah karena harus melewati jalan, sebenarnya tidak layak disebut jalan, dengan beberapa kali dibantu tenaga manusia untuk keluar dari kubangan lumpur.
Setiba di lokasi, mobil pun masuk ke halaman sekolah karena dari papan nama yang nyaris tak terbaca menunjukkan bahwa itu sekolah. Kondisi sekolah sepi dengan beberapa pintu kelas terbuka lebar karena tidak ada lagi penutupnya sementara sapi dan kambing berebut rumput yang tumbuh subur di halaman. Jangan dibayangkan aroma yang timbul dari kotoran mereka yang berserak. Penulis turun dan mendekati beberapa anak yang bermain di salah satu kelas. Beberapa memakai seragam putih merah yang lusuh, beberapa lagi berpakaian alakadarnya, dan semuanya tanpa memakai sepatu. Hanya sandal dan sandal.
Dari hasil tanya jawab singkat dengan mereka, ternyata memang murid di sekolah itu, didapat informasi sang guru hanya mengajar dua hari dalam seminggu, yaitu Selasa dan Rabu. Ini dikarenakan sang guru yang telah berstatus PNS bertempat tinggal di ibu kota kabupaten. Perlu biaya besar untuk pulang dan pergi mengajar, untuk menginap tidak mungkin mengingat keluarga di rumah, atau pindah rumah agar dekat dengan pekerjaaan adalah sesuatu yang mustahil dan tak terpikirkan. Apa solusinya? Kedua guru, Kepala Sekolah merangkap tenaga pengajar dan satunya sebagai pengajar, mengambil kebijakan untuk merekrut tenaga pengajar setempat yang akan menggantikan fungsi mereka apabila mereka tidak masuk sekolah.
Setelah mengetahui nama tenaga honorer dadakan tadi, Penulis menuju rumah yang ditunjuk oleh murid-murid tadi. Tidak jauh ternyata. Dari kejauhan terlihat seorang ibu yang sedang menggendong anak berdiri di pintu pagar. Tanpa alas kaki dan mengenakan caping. Bajunya kedodoran dan hampir sama dengan pakaian murid-murid tadi. Lusuh.
“Assalamualaikum, Bu,”ucap Penulis setelah mendekat.
“Wa alaikum salam,”sambutnya,” Saya lihat tadi Bapak dari sekolah?”
“Iya, Bu.”
“Ada apa, ya, Pak?”
“Ini baru jam sebelas, tapi sekolah sudah bubar, Bu?”
“Iya, Pak,”Salah tingkah si ibu menjawab.”Ibu gurunya sedang ke kota.”
“Ibu juga mengajar di sekolah ini, kan?”tanya Penulis hati-hati. Takut tersinggung.
“Hari ini saya ke kebun. Lagi panen,”jawabnya keluar dari konteks pertanyaan,”Kalau tidak sedang panen, saya pasti mengajar, Pak.”