Sabtu, 18 Juni 2011

Menapaktilasi Jejak Masa Lalu

Masa lalu, semanis apapun itu, sepahit apapun itu, akan tetap indah untuk kembali dijelajahi guna sekedar menyatukan pilahan-pilahan kenangan untuk mengisi sebuah ruang rindu.
Mencari dan Menyusun Pilahan Jejak Masa Lalu
Ditengah kesibukan kunjungan kerja anggota DPRD, kucoba meluangkan waktu untuk “melarikan diri” guna menapaktilasi jejak-jejak kaki yang pernah tertancap di kota ini. Dengan berkonspirasi dengan seorang teman yang tinggal di Bandung, aku membajak motor sekaligus pemiliknya untuk ikut menemaniku menjelajahi jalan-jalan di kota Bandung guna menemukan kembali pecahan-pecahan kenangan masa lalu.

Perjalanan di mulai dari Soekarno Hatta, tempat rombongan menginap. Sekitar jam sembilan pagi, tanpa sarapan, kami menuju kantornya di daerah Antapani. Rencananya, dari Antapani, setelah menyimpan ransel pakaian, baru kami menjelajah Bandung. Karena tawaran sang teman akan tempat makan favoritnya yang khas banget, aku setuju untuk ikut. Ketika kutanyakan posisi tempatnya, ia pun merahasiakannya. 

Dari Cicadas, kami berbelok memasuki jalan kecil, entah apa nama jalannya, dan berkat kegesitannya membawa motor, meliuk sana meliuk sini, selip sana selip sini, kami keluar di Jalan PHH Musthopa. Rasanya dulu pun saya sering melewati jalan ini. Segera motor menyusuri jalan PHH  Musthopa menuju daerah Gasibu. Setelah Simpang Empat Cikutra, motor terus berjalan.

Mataku tertuju ke satu tempat yang dulu merupakan tempat favoritku. Bersama seorang teman perempuan, aku selalu ke sana untuk memburu buku-buku bekas. Meskipun tidak sekelas dengan Pasar Palasari, aku suka karena di sana aku bersahabat dengan seorang tua pemilik kios buku bekas. Si bapak mempunyai hobi mengumpulkan buku bekas yang sudah tak utuh lagi untuk diperbaiki dan disempurnakannya menjadi utuh kembali. Begitu si bapak meninggal, aku pun jarang ke sana. Sekarang pasar itu sudah tak terpakai lagi. Pasar Buku Suci namanya.

Motor terus berjalan diantara mobil-mobil yang padat merayap. Melewati Gasibu, tempat kesukaanku di hari Minggu untuk menikmati kue Untuk-Untuk, atas permintaanku motor pun menepi untuk sekedar berfhoto sebagai bukti bahwa aku pernah hadir di sini. Tak sampai lima belas menit, kami pun cabut lagi dan berbelok menuju Dipati Ukur.

Aku mulai bisa menebak tujuan temanku, tapi kubiarkan karena dari belakangnya aku sedang mencoba mencari, mengumpulkan, dan menyatukan kembali jejak-jejak kehadiranku di kota ini.

Benarkan. Ia masuk ke Sekeloa, tempat kost pertamaku di kota ini. Motor terus berjalan melewati gang tempat rumah kost. Di sini aku tiga tahun berdiam dengan dua tempat yang berbeda. Seorang temanku, yang tak etis kusebut namanya, apalagi inisial namanya, pernah pula menjadi tetanggaku.

Akhirnya motor berhenti di warung kecil yang berada disudut. Tak strategis sama sekali. Aku mengikuti langkahnya menuju dapur dan memesan makanan. Setelah itu kami duduk dan tak lama kemudian makanan pun tersaji. Semua serba hangat. Sebakul nasi dengan asap mengibar ke angkasa, sayur asem, ikan asin, tempe tahu, dan lalapannya. Pokoknya nyunda abis. Tak ketinggalan ditingkahi obrolan khas para mahasiswa yang sedang makan di sana. Beginikah aku dulu, ya? Oh ya nama tempat makannya adalah Saung Bu Tatang dan masih murah sekali.

Selesai makan, atas bujukanku, motor keluar Sekeloa, naik ke atas menuju Simpang Dago, dan lurus untuk kemudian ke kiri menuju jalan Tamansari. Astaga! Pasar Balubur, tempatku berbelanja, telah hilang berganti pusat berbelanja modern dan dikangkangi jalan layang. Dimana Ibu penjual serabi yang sering kudatangi setiap pagi dulu itu?

Motor masih berjalan pelan, masuk ke kiri terus, terus ke kanan, terus, terus, dan akhirnya gedung tercinta pun muncul dengan gagah. Tempatku mencari ilmu dan segudang pengalaman itu tak berubah. Gedung Unisba itu masih berdiri menampung banyak mahasiswa yang haus ilmu.

Kami pun masuk jalan Tamansari Bawah. Tujuan adalah sekretariat HMI Korkom Unisba. Masuk Tamansari Bawah adalah sebuah perjuangan bagi para pemula. Dulu aku menyebutnya sebagai sebuah labirin. Kalau kita sudah masuk ke sana, akan sulit untuk keluar lagi karena gang-gangnya sangat banyak dan simpang siur. Tapi syukurlah aku masih mempunyai kemampuan untuk mengingat jalur jalan ke tempat tujuan. Sayangnya tempatku menempa diri dan ditempa pengalaman itu sudah hilang. Gedungnya masih ada, tapi tak ada lagi aktivitas diskusi, rapat-rapat, permainan domino ataupun nyanyian dangdut. Semua hilang. 

Handphone berbunyi. Kuangkat dan aku pun harus segera menghentikan petualangan karena mesti bergabung lagi dengan rombongan. 

Sebenarnya masih banyak lagi untaian kenangan yang belum terambil. Tapi biarlah tersisa agar aku bisa hadir lagi untuk mengulanginya kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar