MENJELANG
penyerangan ke Makkah, Nabi Saw mempersiapkan rencana serangan mendadak. Hatib
bin Balthaah, seorang sahabat Nabi yang berjasa dalam perang Badar, merasa
cemas. Di Makkah, dia meninggalkan banyak saudara dan kekayaan. Ia khawatir
mereka terbunuh dalam serangan itu. Diam-diam dikirimkannya surat ke Makkah
untuk memberitahukan rencana Nabi yang sangat rahasia itu. Ia menyuruh Sarah,
budak perempuan, untuk membawa surat itu. Lewat kabar gaib, Allah memberitahu
Nabi akan kejadian itu. Ia menyuruh Ali, zubair, dan Miqdad mencegat Sarah.
Sarah tertangkap dan diperiksa. Zubair tidak menemukan apa-apa. Ali yakin Nabi
tidak mungkin berdusta. Sarahlah yang pandai berpura-pura.
Sambil
menghunus pedang, Ali mengancam,”Kalau tidak kau serahkan surat itu, kupancung
kepalamu dengan pedang ini.”
Dengan
ketakutan, Sarah membuka kerudungnya dan menyerahkan surat yang
disembunyikannya. Nabi memanggil pengirim surat. Dengan lemah lembut Nabi
bertanya mengapa Hatib mau berbuat seperti itu.
“Ya
Rasulullah,”kata Hatib sambil menangis,”Aku bersumpah demi Allah bahwa aku
tetap beriman kepada Allah dan kepada rasul-Nya, tetapi aku ini seorang muhajir
yang meninggalkan keluarga di kalangan musyrik Quraisy. Di antaranya istri dan
anak-anakku. Aku ingin melindungi mereka.”
Umar
menyahut,”Ya Rasulullah. Serahkan dia padaku. Akan kupenggal kepalanya. Dia
orang bermuka dua.”
Rasulullah
menoleh kepada Umar, lalu,”Dari mana engkau tahu? Siapa tahu Allah telah
memberi kedudukan istimewa kepadanya sebagai ahli Badar.”
Hatib
salah karena berkhianat, tetapi Umar juga keliru karena terburu-buru menyebut
Hatib bermuka dua. Bukankah Hatib melakukannya sebagian karena ketololan dan
sebagian lagi karena ingin melindungi keluarganya. Buktinya Nabi memaafkannya.
“Jauhilah olehmu kebanyakan prasangka karena sebagian prangsangka itu dosa.”(QS
Al-Hujurat:12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar