Selasa, 25 Oktober 2011

Wajar Kalau Banyak Perempuan Masuk Neraka

"Assalamua’alaikum, Bu,”"suara seorang pria terdengar.
“Wa alaikum salam,”sambut suara lembut seorang perempuan.
“Saya prihatin dengan kondisi perempuan saat ini, Bu,”lanjut pria tadi,”Soalnya gini. Subuh kemarin, lingkungan Er-Te kami gempar karena ditemukan seorang bayi didalam kardus di depan mushola.”
“Saya tak habis mengerti kenapa ibu bayi tadi tega membuang darah dagingnya sendiri sementara banyak perempuan lain mengharap kehadiran momongan,”suara pria itu bergetar menahan marah, “Jadi, wajarlah kalau di akhir zaman nanti lebih banyak perempuan yang masuk  neraka daripada laki-laki.”
“Bapak yang baik,”suara perempuan itu tetap lembut,”Ibu itu pasti bukanlah Maryam yang dengan kekuasaan Tuhan, sehingga tanpa campur tangan seorang laki-laki, mempunyai anak, yaitu Nabi Isa, dan anak yang dibuang itu pastilah mempunyai bapak.
Saya masih percaya bahwa seorang ibu, sejahat apa pun dia, tidak akan rela menyakiti, membuang, anaknya, Pak. Sekarang yang jadi pertanyaannya, kenapa pembuangan, penelantaran, penyiksaan, anak makin sering terjadi? Pada banyak kasus pembuangan anak, hanya pihak ibu saja yang banyak disalahkan. Aneh, bukan? Padahal perempuan tidak akan bisa hamil tanpa kehadiran pria. Pria yang membuahi wanita sehingga lahirlah anak.
Sekarang, kalau seorang pria mau bertanggung jawab dengan hasil perbuatannya, misalnya tidak lari untuk mengakui anak hasil hubungan gelapnya, mau menafkahi anak tadi dengan maksimal, ataupun mampu memanajemen keluarga dengan baik, saya yakin tidak akan terjadi penelantaran anak. Saya yakin itu.
Karena kalau saya dengar alasan pembuangan anak, meskipun ini bisa jadi argumentasi untuk mengelak mengakui kesalahannya, rata-rata karena sang lelaki menghilang dan tak mau mengakui status anak atau karena ketidakmampuan sang suami secara ekonomi untuk memberi makan banyak anggota keluarga. Klise memang, tapi itu nyata lho, Pak.
Tentang pembuangan anak di tempat Bapak tadi, mbok ya, jangan hanya bisa menyalahkan perempuannya saja, tapi cari, dong, bapaknya. Biar keduanya bisa dihukum bareng.”
Itulah percakapan di sebuah acara Tanya Jawab Agama di salah satu radio. Sepele memang, tapi kalau melihat kondisi sekarang tema percakapan tetap aktual.

Sabtu, 27 Agustus 2011

Inilah Ramadhan yang Kuimpikan


Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua.

Sungguh menyebalkan! Anak itu berjalan keliling kampung dengan tangan kanan memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut.

Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya.

Orang-orang kampung tidak berani melarang bocah kecil itu. Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan.

Lalu seorang tokoh masyarakat memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setelah shalat Zuhur, anak itu pasti muncul. Bocah itu tampil dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama!

Tidak lama menunggu, akhirnya bocah itu muncul. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah. Setelah ditegur, bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar.

“Bismillah.. .” ucap Sang tokoh masyarakat tadi sambil mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Kalau memang bocah itu “jadi-jadian”, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini, tapi kalau memang bocah itu “bocah beneran” pun, ia akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.

Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak melemah. Dengan segera ia menyeret dengan halus bocah itu dan membawanya ke rumah. Penduduk kampung yang melihat kejadian itu segera mengikuti.

“Ada apa bapak melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?” tanya bocah itu seakan-akan tahu pikiran sang tuan rumah.

“Maaf ya, itu karena kamu melakukannya di bulan puasa,” jawab Sang tokoh masyarakat dengan halus,”Apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.”

Sebenarnya Sang tokoh masyarakat masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak kecil itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri dan  menatap Sang tokoh masyarakat lebih tajam lagi, dan berkata dengan lantang.

“Itu kan yang sering kalian lakukan juga kepada kami!
Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?
Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput?
Bukankah bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian?”

Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar “sangat” menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.

“Ketahuilah pak, kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.

Sumber : mediaindonesia.com
Dan ketahuilah juga, justru bapak dan orang-orang di sekeliling bapak lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri, kembali ke fitrah meraih kemenangan?

Kalian dengan bangganya menunaikan ibadah umrah yang sunah di bulan Ramadhan dengan harapan mendapatkan lailatul qadar dengan meninggalkan kami disini yang kedinginan dan kelaparan mengarungi malam, lalu kalian dengan bangganya pulang dan mengatakan bahwa kalian mendapatkan lailatul qadar di Masjidil Haram dan minta dipanggil sebagai haji atau hajjah, padahal uang kalian bisa membantu kami ketimbang digunakan bolak balik ke Mekkah! Bukankah Allah ada dimana-mana? Bukankah Nabi kalian hanya satu kali haji dan dua kali umrah sepanjang hidupnya dan menetap di Madinah bukan di Mekah!

Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan ‘Idul Fithri ?

Pak, sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula ya sekedarnya biar dianggap dermawan dan peduli, bahkan diantara kalian menjadikan kami sebagai komoditi !

Pak, kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami!

Pak, sadarkah Bapak akan ketidakabadian harta?
Sadarkah apa yang terjadi bila bapak dan orang-orang sekeliling bapak tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya bapak dan orang-orang di sekeliling bapak bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.

Tahukah Bapak akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?

Pak.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi.

Jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan ‘tuk setahun, Jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak….”

Setelah menyelesaikan ucapannya, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Sang tokoh masyarakat dan penduduk kampung yang mengintip dari jendela.


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/27/bocah-misterius-di-bulan-ramadhan/

Kamis, 04 Agustus 2011

Inilah Kalimat yang Mengikat Kita

Inilah Kalimat yang Menyatukan Umat Islam

Masjid dan Pusat Islam di Eropa dan Amerika mempersatukan banyak sekali orang dari seluruh penjuru dunia. Sangat sering sebuah mesjid berisi kelompok-kelompok kultural tanpa ada satu pun yang mayoritas. Hal ini khususnya terjadi atas mesjid yang dikelola oleh kelompok mahasiswa di universitas-universitas Barat. Gabungan beragam kultural seperti itu menciptakan banyak  perbedaan pendapat yang bisa dengan sangat mudah berkembang menjadi perselisihan dan keretakan komunitas.

Perselisihan semacam itu terjadi pada satu malam di mesjid Universitas of San Fransisco. Saya tidak ingat penyebab pasti dari perselisihan itu. Kalau tak salah peristiwa itu berkenaan dengan setumpuk brosur anti-Syi’ah yang ditinggalkan di dalam mesjid oleh seseorang. Perselisihan itu terjadi sewaktu perang Iran-Iraq sedang memuncak dan banyak propaganda agama dan politik disebarkan oleh kedua kelompok yang sedang berkonflik dan sekutu-sekutu mereka. saya ingat dengan jelas betapa perselisihan itu berubah menjadi sangat panas.

Orang-orang Saudi sangat marah kepada orang-orang Kuwait dan Iran; mahasiswa-mahasiswa Pakistan bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Saudi. Orang-orang kulit putih AS membela orang-orang Iran; orang-orang kulit hitam melawan orang-orang kulit putih. Mahasiswa-mahasiswa Afrika Utara dan mahasiswa-mahasiswa Palestina tampaknya saling bertengkar satu sama lain dan juga dengan orang lainnya; mahasiswa Malaysia kelihatan ketakutan. Semua bentuk serangan pribadi dan ras sangat sengit dan dengki saling berbalasan.

“Kalian orang-orang Syiah kafir!”

“Kalian orang-orang Saudi menyembah raja kalian!”

“Apa yang diketahui orang-orang Amerika tentang Islam?”

“Orang-orang Pakistan hanyalah kacung orang-orang Saudi!”

“Bangsa kami adalah muslim jauh sebelum kalian, anak-anak kulit putih, menjadi muslim!”

“Kalian bangga menjadi pengikut Elijah Muhammad!”

“Orang-orang Palestina memang pantas beroleh apa yang mereka dapatkan!”

Wajah-wajah mereka memerah karena marah. Teriakan-teriakan menjadi bentakan yang mengancam. Mahasiswa-mahasiswa Amerika mengepalkan tinju dan menegangkan lengan, menyiapkan diri untuk berkelahi. Ini benar-benar akan menjadi akhir dari komunitas kami.

Dari seberang pojok ruangan itu, terdengar suara jeritan putus asa,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Itulah Ilyas, mahasiswa Indonesia yang pendek kurus dan pendiam. Ia jarang sekali berbicara. Ruangan itu pun menjadi senyap.

“Apa yang dikatakannya?”Beberapa orang saling bertanya satu sama lain.

Ilyas berteriak lagi sekuat-kuatnya: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Ucapkan!”Ilyas berteriak,”Ucapkan!”

Sebagian besar dari kami bergumam bingung: “La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

“Apa yang diinginkannya?”seseorang berbisik.

“Ucapkanlah sungguh-sungguh!”teriak Ilyas lagi.

Mungkin karena Ilyas mengucapkannya dengan sangat berwibawa atau dengan penuh semangat dan karena alasan tertentu, kami menuruti peerintah anggota jamaah mesjid kami ini, yang biasanya lembut dan tidak menonjol. Suara kami bertambah keras secara serempak bersama Ilyas yang memimpin kami,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kami bisa merasakan kebencian dan kemarahan menghilang. Semua mata tertuju kepada Ilyas. Segenap wajah dari orang-orang yang bersaudara itu kelihatan terpana. Sebagian dari mereka memperlihatkan rasa sedih, sebagian menyesal, dan sebagian lagi terlihat gembira. Sekarang seluruh kelompok membutuhkan Ilyas untuk membimbing.

“Lagi!”Ilyas meneriakkan,”Lagi!”

Kali ini kami semua bersuara dalam jeritan semangat yang bergelora,“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Kemudian kami teriakkan lagi, mengikuti bimbingan Ilyas,
“La ilaha illa Allah! Muhammadun rasul Allah!”

Ilyas berhenti, berdiri mematung sejenak dengan berlinang air mata.

Ia memandang kami seperti anak kecil memandang kedua orang tuanya ketika ia menginginkan mereka berhenti bertengkar.

“Hanya itu saja, saudara-saudaraku!”Ilyas berkata, suaranya berubah.”Kalimat itulah yang mengikat kita!”

“Lihatlah Kami!”Ia berteriak, merentangkan kedua lengannya.

Hingga disitulah, orang-orang yang bersaudara itu secara perlahan mulai saling mendekati satu sama lain dengan raut wajah yang sangat malu. Suasana yang baru saja hampir meledak menjadi pertunjukan kekerasan kini berubah menjadi adegan jabat tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan maaf yang tulus. Hari berikutnya, mesjid berjalan normal lagi dan saya tidak pernah mendengar siapa pun memperbincangkan perselisihan lagi.

Cerita yang kukutip dari buku Bahkan Malaikat pun Bertanya karya Jeffrey Lang yang dikeluarkan oleh Penerbit Serambi diharapkan dapat menjadi bahan renungan bagi kita, umat Islam. Seandainya kita pun memahami makna kalimat yang mengikat kita, Insya Allah, tak akan lagi ada aksi kekerasan terhadap kelompok lain, tak akan lagi ada saling hujat antar pemahaman, dan tak akan ada lagi sikap curiga antar lembaga agama.

Seandainya saja ada banyak Ilyas yang mampu menjadi penyatu umat yang terpecah dalam aneka pemahaman, betapa kuat tangan yang mencengkeram kalimat yang mengikat kita.


Senin, 18 Juli 2011

Hidup Sehat Tanpa Alas Kaki


“Hei! Pada nggak pakai sandal, ya?”Istriku berkacak pinggang didepan rumah melihat kami yang berjalan mendekat.

Bertiga, kami, ayah tercinta, si sulung yang gagah, dan si bungsu yang manis, serentak memamerkan senyum  untuk mengurangi rasa marah bunda.

“Wangi! Kenapa nggak pakai sandal?”Istriku bertanya pada si bungsu.

“Ayah saja dak pakai sandal, Bun,”ia membela diri.

“Dak usah ikut kelakuan ayah yang dak benar itu.”

“Kata Ayah, biar sehat kalau jalan pagi, tuh, tanpa sandal, Bun,”dukung si sulung.

“Jangan ditiru kelakuan ayah. Malu sama tetangga, tahu.”

Dua yang tak beralas kaki itu anakku
Malu sama tetangga adalah kata kunci masyarakat modern untuk menghilangkan kebiasaan sehat berjalan kaki. Padahal alas kaki, sebagus dan semahal apa pun, tak akan pernah  cocok dengan karakteristik kaki manusia. Menurut kompas.com sepatu bukan hanya mengubah bentuk kaki, tapi malah membuat kaki lebih rentan cidera.

Jalan pagi memang telah menjadi rutinitasku sejak masih mahasiswa dulu. Kini, kebiasaan untuk jalan pagi tanpa alas mendapat respon dari kedua anakku. Setiap pagi, sambil menuntun sepeda yang dinaiki anakku, kami setia menyusuri jalan di lingkungan rumah. Memang awalnya orang pada heran melihat ketelanjangan kaki kami, tapi, dengan berpegang teguh pada prinsip alah bisa karena biasa, mereka akhirnya terbiasa melihat kebiasaan kami.

Baru-baru ini aku menemukan bahan untuk pembelaan terhadap istri yang tetap saja menolak mentah-mentah kebiasaan kami bertiga untuk bertelanjang kaki. Masih menurut kompas.com, ada enam keuntungan dari berjalan tanpa alas dengan syarat berjalan  di permukaan tanah sedikitnya 3 kali dalam seminggu, yaitu:

1.  Pada musim panas, berjalan tanpa alas kaki memiliki efek mendinginkan tubuh, terutama berjalan menginjak rumput di pagi hari.

2.   Saat kaki tidak dibatasi sepatu, kaki akan menghasilkan gerakan yang mengaktifkan otot-otot di kaki sehingga sirkulasi darah ke bagian jantung menjadi lebih lancar. Fungsi sirkulasi yang lancar ini bisa mencegah bekuan darah di kaki, mengurangi stres pada sistem kardiovaskular dan menurunkan tekanan darah. 

3. Penggunaan sepatu terus menerus bisa membuat otot-otot kaki menjadi lelah. Biarkan otot kaki menjadi rileks dengan berjalan tanpa alas.

4.    Berjalan tanpa alas kaki juga terbukti bisa mengatasi telapak kaki datar. 

5.  Berjalan kaki tanpa alas juga meningkatkan kontak secara langsung dengan alam. Hal ini bisa berpengaruh pada peningkatan level energi dan mengendurkan ketegangan.

6.   Berjalan di permukaan tanah tanpa alas kaki juga membantu menguatkan struktur tulang kaki dan mencegah perubahan bentuk kaki.

Nah, mulai sekarang mari kita kampanyekan “Hidup Sehat Tanpa Alas Kaki”.

Kamis, 14 Juli 2011

Jilbab Tak Lagi Menunjukkan Kualitas Keimanan Pemakainya


Masih kuingat perjuangan para jilbaber generasi awal diakhir era 80-an, ketika isyu menaburkan racun pada beras atau bahan makanan lain yang dilakukan oleh perempuan-perempuan berjilbab di pasar-pasar tradisional banyak memakan korban pemukulan dan pengeroyokan.

Belum lagi pelecehan yang dilakukan kaum pria dengan mengucapkan salam khas Arab, assalamu’alaikum, dengan nada bercanda ketika seorang perempuan berjilbab melintas.

Jilbaber muda yang akan mencerahkan Islam
Pokoknya pada masa itu, berjilbab bukanlah suatu pilihan. Berat sekali tantangan yang harus dihadapi untuk sekedar mengenakan jilbab, baik itu dari lingkungan sekolah, instansi pemerintahan, maupun dari masyarakat luas. Jadi hanya mereka yang kuat secara mental mapun kuat secara keimanan yang mau mengenakan jilbab.

Pakaian gamis yang kebesaran dan berlapis dengan jilbab yang memanjang menutupi tubuh menjadi trend pakaian jilbab generasi awal. Terkadang dilengkapi dengan sarung tangan, kaos kaki, dan penutup wajah, sehingga kesannya Arab abis. Belum lagi kalau berjalan harus dengan langkah yang bergegas.

Tapi, seiring perjalanan waktu, penerimaan masyarakat terhadap perempuan berjilbab pun membaik. Perempuan berjilbab mulai bertebaran dan berani beraktivitas di lingkungan luas.

Dan kini, hari ini, jilbab telah menjadi pakaian nasional. Tak aneh lagi melihat para perempuan mengenakan jilbab ketika menghadiri suatu acara padahal dikehidupan sehari-hari mereka tidak mengenakannya. Belum lagi beberapa daerah, berdasarkan sistem otonomi daerah, menerapkan aturan wajib jilbab bagi anak sekolah tanpa melihat kepercayaan yang dianut sang murid.

Keberadaan jilbab yang lepas dari nilai keagamaan membuat prihatin pihak-pihak yang masih menganggap jilbab sebagai pakaian resmi perempuan Islam. Mereka miris melihat perempuan berjilbab dengan pakaian yang superketat, perempuan berjilbab yang berpegangan tangan atau bahkan berpelukan di muka umum, atau perempuan berjilbab yang melakukan kejahatan.

Ini cerita Uwak yang marah-marah melihat seorang perempuan muda berjilbab dengan cueknya berciuman dengan pasangannya didepannya ketika ia duduk-duduk di taman kota dengan cucunya. 

“Barangkali mereka sudah nikah, Wak?”hiburku untuk menutupi kekecewaannya.

“Dak mungkin. Mereka masih anak sekolah, kok.”

Aku hanya tersenyum menanggapi kengototannya. Aku pun bingung mencari kata hiburan lainnya untuk mengobati kekecewaan Uwak karena ini resiko apabila jilbab hanya dianggap sebagai pakaian yang mengikuti trend mode.












Senin, 20 Juni 2011

Strategi ORBA yang Harus Ditiru SBY

Sumber: lensaindonesia.com
Mengenang kembali keberhasilan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan yang stabil, keamanan yang terkendali, ketersediaan pangan yang terjaga, dan tingkat kesejahteraan yang tinggi menjadi komoditi yang menarik sebagai jargon politik berbagai parpol politik menjelang suksesi kepemimpinan negeri ini.

Hal ini didukung pula hasil survei yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia rindu akan masa lalu kesuksesan Rezim Soeharto menata Indonesia yang gemah ripah ripah loh jinawi.

Sekarang orang meributkan kegagalan pemerintahan pasca kekuasaan Soeharto mewujudkan kondisi Indonesia seperti  semula. Padahal Soeharto membutuhkan dua puluh tahun masa pemerintahannya untuk mencapai masa keemasan pertumbuhan ekonomi yang semu itu. Sementara masyarakat kini mengharapkan  SBY dapat menggunakan tongkat Harry Potter untuk mengubah semuanya.

Menurut saya, SBY pun bisa menjadikan Indonesia kembali makmur seperti nostalgia masyarakat yang pernah menikmati kue pembangunan Orde Baru, yaitu dengan mengikuti strategi yang dilakukan rezim Soeharto, seperti:
  1. Jangan ada pihak oposisi alias kaum pembangkang. Mereka yang berseberangan dengan SBY harus dienyahkan, baik itu dengan penculikan, petrus yang kembali digiatkan, maupun pembunuhan karakter terhadap keluarga para oposisi. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh rezim Soeharto, tapi banyak pula dilakukan oleh pemerintah otoriter lain di dunia untuk menjaga stabilitas keamanan pemerintahannya dan terbukti andal, sehingga SBY dapat dengan leluasa menjalankan semua kebijakannya tanpa ada rongrongan dari pihak lain.
  2. Semua informasi dikendalikan oleh pemerintah. Tutup semua stasiun televisi, pemancar radio, dan media cetak. TVRI dan RRI dikembalikan pada khittahnya sebagai corong pemerintah. Dengan penguasaan sumber informasi, maka SBY dapat menjalankan politik pencitraannya dengan lebih efektif. Hidup di Indonesia serasa di surga. Kekerasan, kelaparan, dan kriminalitas hanya terjadi di luar sana, bukan di Indonesia.
  3. Pemilihan kepala pemerintah daerah ditentukan oleh pemerintah. Dengan begitu SBY dapat menempatkan orang-orang kepercayaannya diberbagai lini, sehingga semua kebijakan pemerintah dapat berjalan mulus.
  4. Keberadaan partai politik diminimalisir. Mengikuti garis Soeharto, maka partai politik cukup tiga atau dua. Toh, ini sekedar kamuflase agar terlihat seperti negara demokrasi. Rawat dan giring agar partai politik tidak membesar liar.
Yakinlah, bila SBY mau mengikuti kebijakan Orde Baru, maka dengan singkat Indonesia akan kembali menjadi salah satu macan dunia sebagai kekuatan ekonomi, kekuatan keamanan, dan kekuatan politik seperti keinginan mayoritas masyarakat Indonesia dalam hasil survei tadi.

Toh, masyarakat tak memperdulikan bagaimana kehidupan politiknya, berapa banyak orang mati karena kekuatan senjata penguasa, dan perbuatan zalim lain dari pemerintah. Selama kebutuhan hidup terpenuhi dan bukan diri beserta keluarganya yang  terzalimi, maka dunia serasa di surga. Aman tentram gemah ripah loh jinawi. Beres.