Selasa, 08 Januari 2019

R O M I




Di malam yang retak-retak karena gemelut jam dinding itu, ia tersedot ke dalam ruang yang teramat luas, tanpa batas. Cahaya kelabu berpendar di mana-mana. Sunyi dan hening sekali. Ia merasa melayang, berkibar-kibar, mengikuti garis lurus cahaya yang sangat terang menuju ke langit, entah kemana.

Wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar. Matanya kosong dan legam. Rasa takut yang berkilat-kilat di dalamnya.

Seseorang menyambutnya.

“Kemarilah,”suaranya sejuk.

Romi gemetar.

“Kemarilah, anakku,”suaranya lagi, perlahan.

Romi tak sanggup melangkah. Seluruh tubuhnya lemas. Ia hanya menatapi orang tua yang menyambutnya itu. Dilihatnya gamisnya putih, menyilaukan.
Tak jelas garis tubuhnya. Bagaikan bayang-bayang yang seakan transparan karena pendaran cahaya yang amat menyilaukan di sekitarnya itu.

“Wajahmu pucat,”suara orang tua itu lagi.”Adakah yang merisaukanmu?
Adakah yang menakutkan hatimu?”

Romi menggapai-gapai. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

Siapakah orang ini? Kata hatinya. Saya tidak mengenalnya. Benar-benar saya tidak tahu darimana dia datang. Tiba-tiba saja ia berdiri di hadapan ketika saya tersedot oleh cahaya yang terang benderang itu.

“Engkau memang sudah lama tidak mengenaliku lagi, anakku. Engkau sudah terlalu lama melupakan aku karena engkau sibuk. Engkau sibuk dengan perusahaan-perusahaanmu. Engkau sibuk dengan duniamu. Dunia itu telah membiusmu habis-habisan. Engkau memang seorang pekerja yang ulet.”

“Ya, saya memang harus bekerja keras. teramat keras jika ingin sukses.”Tiba-tiba ia menemukan dirinya kembali.

“Engkau sudah sangat sukses, anakku. Aku tahu itu. Bagian dunia mana lagi yang belum engkau miliki? Semua telah engkau miliki kecuali mungkin aku yang tidak lagi engkau miliki.”

Orang tua berjubah putih itu, dengan gamisnya yang berumbai-umbai seakan bermain-main dengan pendaran cahaya disekitarnya, menatapi Romi dengan wajah yang teduh sekali.

“Akulah yang mendampingimu selama ini, anakku,”suaranya lagi.”Akulah yang senantiasa membimbingmu, membisikimu sebab aku tahu, tak mudah untuk senantiasa menjadi seimbang dan berimbang. Tak mudah untuk selalu ingat tujuan awal-mula engkau berada di sini. Ketika engkau tak mempunyai apa-apa, miskin dan tersisihkan, tak mudah untuk mengingat tujuan awal mula itu.
Kini pun, ketika engkau sukses sebagai seorang pengusaha kelas kakap, dengan harta yang berlimpah-limpah, ternyata tetap tak mudah untuk mengingatnya. Banyak yang telah engkau miliki tetapi banyak pula yang telah hilang dari dirimu.
Memang tak mudah untuk menjadi seimbang dan berimbang, tapi justru karena dalam hidup ini sesungguhnya merupakan perjuangan semata-mata, usaha semata-mata, mengapa engkau melupakan tujuan awal mula engkau hadir di sini dalam perjuangan itu? Dan akulah yang selalu mengingatkanmu, berulang-ulang. Walaupun aku tahu, kau kini tak lagi peduli. Kau melupakan diriku.
Seakan aku selama ini hanya menghalangi setiap langkahmu.
Lalu, apakah yang bisa kulakukan? Juga malam ini, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Barangkali engkau memang terpaksa harus pergi ke suatu tempat yang amat jauh malam ini. Dan aku menangis, anakku, jika itu sampai terjadi karena ternyata engkau belum memiliki bekal apa pun.”

Orang tua itu kemudian beranjak hendak pergi.

“Tunggu!”teriak Romi tiba-tiba.”Jangan tinggalkan aku. Jawab dulu pertanyaanku. Siapakah kau? Siapa?”

“Akulah yang senantiasa bersemayam dalam hatimu, anakku,”jawab orang tua itu pelan, sejuk sekali.

Tiba-tiba wajahnya yang semula tidak jelas tampak karena pendaran cahaya disekitarnya itu, kini terlihat teduh sekali. Romi terpana.

Perlahan matanya pun terbuka. Ia menatap sekitarnya. Sunyi sekali di ruangan yang dominan putih dengan aroma obat-obatan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar