Sabtu, 19 Januari 2019

A T I K A H


Perkawinan mereka tidak bisa dipertahankan lagi.
“Salahkan suatu perceraian jika suatu pernikahan telah lama tidak bisa dipertahankan lagi?”keluh Atikah malam itu dikamarnya, seorang diri.
Keluhan itu memang mengungkapkan kepedihan yang teramat dalam. Sebuah tema kesengsaraan yang hitam, kesendirian yang kelam. Mungkin pula suatu kesepian yang teramat menekan dan lelehan air mata yang telah mengering diam-diam.

Ary tak kembali. Ia pergi tanpa pamit lagi, setelah pertengkaran yang hebat marak di sudut-sudut kamar itu dan membakari bantal-bantal mereka. Padahal perkawinan mereka belumlah seumur jagung. Betapa cepat kemesraan itu berlalu, betapa cepat keindahan malam-malam yang penuh gairah itu menguap bagai tak pernah ada sebelumnya. Bagaikan angin kelabu yang bertiup sesaat dengan gemetar kemudian menghilang. Bagaikan gerimis yang melesat cepat di sore yang kelam.
Salah siapakah di antara mereka, jika ternyata mereka tidak mampu mempertahankan janji-janji yang baru saja diucapkan itu? Salah siapakah sehingga bulan madu mereka begitu cepat hambar? Salah siapakah? Ya, salah siapakah?

Kita tidak tahu. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah tahu. Tapi, kisah tentang pelbagai perkawinan yang terpuruk hanya beberapa minggu setelah dikukuhkan, beruntun datang. Silih berganti. Dan kita tak sempat mengetahui apa yang menyebabkannya. Begitu mudahkan cinta pupus? Cinta yang mengebu-gebu sebelumnya, begitu mudahkah cinta padam hanya oleh selembar gerimis tipis? Kita tidak tahu. Satu-satunya yang kita tahu mungkin bahwa komunikasi di antara mereka memang sudah lama tidak jalan. Komunikasi telah mati. Mereka pun menjadi asing satu sama lain. Ternyata: Mereka memang tak saling mengenal. Benar: Mereka tak saling mengenal.
“Padahal,”kata Dr. Joyce Brothers,”siapa pun yang hendak memasuki gerbang perkawinan seharusnya sudah mengenal pasangannya dengan sebaik-baiknya. Jangan gegabah memilih pasangan sebab perkawinan, betapa pun, adalah bagian yang tak ternilai dari perjalanan sejarah seseorang di sepanjang hidupnya.”

Dalam bukunya, What Every Woman Should Know About Men, Dr. Joyce Brothers menyarankan bahwa seorang wanita harus benar-benar meneliti pasangannya lebih dulu, sebelum memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu.
“Sebab lelaki,”tulis Dr. Brothers,”penuh kabut dan kabut itu harus disingkapkan.”
“Seorang wanita dapat meningkatkan hubungannya dengan lelaki mana pun--suaminya, anaknya, teman-teman di kantornya, orang-orang yang mengaguminya dan sebagainya—apabila ia mengerti lebih banyak mengenai kebiasaan-kebiasaan lelaki: ketakutannya yang tersembunyi, kecemasannya terhadap kemampuan seksualnya, cita-cita dan pandangan hidupnya, kehausan dan kerakusannya untuk dicintai, fragilitas hidupnya, dan sebagainya.”

Berdasarkan pengalaman konsultasi yang ditekuninya bertahun-tahun, Dr. Joyce Brothers menyadari bahwa banyak wanita yang sesungguhnya tak mengenal pasangannya, padahal mereka sudah lama hidup bersama, saling mencintai, bekerja bersama, dan mengasihi anak-anak yang lahir beruntun dalam hidup mereka.
“Lelaki tak lebih bagaikan porselin yang sangat fragil,”kata Dr. Joyce Brothers,”Itulah yang harus benar-benar difahami oleh seorang wanita.”

Dan itulah pula yang saya kutip dan katakan pada Atika ketika ia datang ke rumah sakit untuk konsultasi. Agak aneh memang, ia datang mengunjungi saya untuk konsultasi, padahal sama sekali tak ada kelainan pada jantungnya. Ia hanya mengeluh sering berdebar di malam hari dan mengalami serangan sesak yang berulang berkali-kali.

“Jika sekarang anda terpaksa memilih perceraian, mungkin karena  anda memang belum membaca What Every Woman Should Know About Men itu. Dr. Dr. Joyce Brothers menekankan bahwa banyak perkawinan yang terpuruk disebabkan oleh fragilnya watak seorang lelaki dan sayangnya anda tak mengenalinya,”kata saya pada Atika.

Dalam hati saya mengatakan bahwa Dr. Joyce Brothers mungkin lupa menganjurkan kaumnya untuk meneliti liku-liku dirinya sendiri lebih dulu sebelum meneliti lika-liku laki-laki. Buku What Every Woman Should Know About Herself memang tak pernah ditulisnya.


Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar