Selasa, 22 Januari 2019

ANTON

“Selalu melarang! Selalu melarang!,”gerutu Anton seraya memasuki kamarnya.”Tahunya  hanya melarang.’
Keki benar ia pada orang tuanya. Ia merasa orang tuanya tidak fair. Mereka selalu melarangnya pulang telat sementara, menurut Anton, mereka sendiri selalu pulang malam.
“Papa kan kerja. Mama juga kerja. Tapi kau? Main melulu hingga pulang telat?”kata papanya.
Anton tidak bisa menerima tuduhan seperti itu. Tak selalu ia pulang telat karena ngelayap. Kadang-kadang ia latihan karate atau mengerjakan  soal-soal sekolah di rumah teman atau menyelesaikan pekerjaan rumah bersama.
“Alasan!”kata Papa ketus.
“Percaya atau tidak, terserah!”jawab Anton sengit.
Mungkin karena tanya jawab sudah berubah menjadi saling tuduh atau suatu dialog tak pernah bisa berkembang di antara mereka karena masing-masing sudah mengawalinya  lebih dulu dengan sikap curiga yang berada tidak pada tempatnya, maka komunikasi pun mati. Pertengkaran marak. Perebutan kalah menang: siapa yang benar, siapa yang kalah.
Dan Anton jelas kalah. Tak boleh keluar rumah selama seminggu, sehabis sekolah, apa pun alasannya. Ia hanya tergolek di kamarnya, membaca majalah, atau menyetel musik keras-keras. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi kecuali menggerutu. Ia tidak bisa menerima perlakuan yang tidak adil seperti ini.
“Mentang-mentang punya kekuasaan,”gerutunya berkepanjangan,”Apakah kemudian mereka mempunyai hak untuk bersikap tidak fair? Tidakkah kekuasaan harus diperlakukan hati-hati? Seharusnya mereka tahu bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan sembarangan karena kekuasaan cenderung menekan. Jika di dalam rumah sendiri mereka biasa bersikap diktator seperti itu, tidakkah di luar juga akan demikian juga?”
“Jangan heran jika jika Negara ini diperintah oleh para diktator,”ujar Anton lagi.
Dan kesengitan itu disusul dengan kesengitan lain. Kita yang selalu disalahkan, katanya lagi. Kita yang selalu dituduh macam-macam, tidak menatap masa depan segala. Tidakkah justru mereka sendiri yang mewariskan nilai-nilai diktatoristik itu dan nilai-nilai tak benar lainnya, sementara mereka dengan arogannya merasa telah mempersiapkan masa depan kita dengan sebaik-baiknya?
Protes itu berkembang semakin banyak, semakin melebar, semakin aneh, dan semakin tak terkendali. Berjam-jam. Berrhari-hari. Berbulan-bulan.
“Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka begitu mudah untuk menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, justru untuk menutupi kelemahan mereka sendiri,”kata Anton, suatu hari di warung sekolah, pada jam istirahat yang pendek.
Ternyata ia tidak sendiri. Hampir semua temannya mendukung pendapatnya itu dan mereka beramai-ramai tenggelam gelombang protes, dalam gerutuan yang panjang.
“Tidak seharusnya kita dikerasi atau diindoktrinasi,”katanya.”Kita seharusnya diajak berdialog, membicarakan setiap keinginan dan pandangan masing-masing yang mungkin berbeda. Sikap berdialog itulah yang harus dikembangkan di tengah keluarga dan kita siap untuk berdialog, tapi mereka tidak. Mereka takut kehilangan wibawa jika berdialog. Mereka lebih suka menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya sebagai orang tua.”
“Dari awal seharusnya kita sudah diberitahu bahwa ada hal-hal yang sangat prinsipil yang harus dianut dalam keluarga, seperti aqidah, iman, dan larangan-larangan agama dan ada pula hal-hal yang dianggap tak termasuk prinsipil.
Untuk yang pertama, bolehlah mereka mengemukakan pendapat mereka sebagai hal yang tak boleh dilanggar. Jika diberitahu secara baik-baik, kita bisa mengerti bukan? Untuk yang terakhir, setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda bukan? Dan untuk yang terakhir inilah, seharusnya bisa diselesaikan dalam dialog yang terbuka antara mereka dengan kita sebab kita tahu, tujuan dialog sesungguhnya adalah untuk menemukan solusi yang saiing memuaskan. Memuaskan bagi kita, anak-anaknya, dan memuaskan bagi mereka sebagai orang tua.”
“Seharusnya orang tahu itu,”kata Anton lagi, dikesempatan jam istirahat lain.”Tapi mengapa mereka tidak mau tahu? Karena mereka salah. Mereka tidak punya waktu untuk bercerita dan berdialog panjang lebar dengan kita, anak-anaknya.”
“Bukan kita yang harus dilatih untuk menjadi anak baik, tapi mereka yang seharus dilatih untuk menjadi orang tua efektif,”kata Anton mengutip tulisan Dr. Thomas Gordon dalam bukunya Parent Effectiveness Training.

Sumber : republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar