“Selalu melarang! Selalu melarang!,”gerutu
Anton seraya memasuki kamarnya.”Tahunya
hanya melarang.’
Keki benar ia pada orang tuanya. Ia merasa
orang tuanya tidak fair. Mereka
selalu melarangnya pulang telat sementara, menurut Anton, mereka sendiri selalu
pulang malam.
“Papa kan kerja. Mama juga kerja. Tapi kau?
Main melulu hingga pulang telat?”kata papanya.
Anton tidak bisa menerima tuduhan seperti itu.
Tak selalu ia pulang telat karena ngelayap.
Kadang-kadang ia latihan karate atau mengerjakan soal-soal sekolah di rumah teman atau
menyelesaikan pekerjaan rumah bersama.
“Alasan!”kata Papa ketus.
“Percaya atau tidak, terserah!”jawab Anton
sengit.
Mungkin karena tanya jawab sudah berubah
menjadi saling tuduh atau suatu dialog tak pernah bisa berkembang di antara
mereka karena masing-masing sudah mengawalinya
lebih dulu dengan sikap curiga yang berada tidak pada tempatnya, maka
komunikasi pun mati. Pertengkaran marak. Perebutan kalah menang: siapa yang
benar, siapa yang kalah.
Dan Anton jelas kalah. Tak boleh keluar rumah
selama seminggu, sehabis sekolah, apa pun alasannya. Ia hanya tergolek di
kamarnya, membaca majalah, atau menyetel musik keras-keras. Tak ada yang bisa
dilakukannya lagi kecuali menggerutu. Ia tidak bisa menerima perlakuan yang
tidak adil seperti ini.
“Mentang-mentang punya kekuasaan,”gerutunya
berkepanjangan,”Apakah kemudian mereka mempunyai hak untuk bersikap tidak fair? Tidakkah kekuasaan harus
diperlakukan hati-hati? Seharusnya mereka tahu bahwa kekuasaan tidak boleh
digunakan sembarangan karena kekuasaan cenderung menekan. Jika di dalam rumah
sendiri mereka biasa bersikap diktator seperti itu, tidakkah di luar juga akan
demikian juga?”
“Jangan heran jika jika Negara ini diperintah
oleh para diktator,”ujar Anton lagi.
Dan kesengitan itu disusul dengan kesengitan
lain. Kita yang selalu disalahkan, katanya
lagi. Kita yang selalu dituduh
macam-macam, tidak menatap masa depan segala. Tidakkah justru mereka sendiri
yang mewariskan nilai-nilai diktatoristik itu dan nilai-nilai tak benar lainnya,
sementara mereka dengan arogannya merasa telah mempersiapkan masa depan kita
dengan sebaik-baiknya?
Protes itu berkembang semakin banyak, semakin
melebar, semakin aneh, dan semakin tak terkendali. Berjam-jam. Berrhari-hari.
Berbulan-bulan.
“Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka
begitu mudah untuk menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, justru untuk
menutupi kelemahan mereka sendiri,”kata Anton, suatu hari di warung sekolah,
pada jam istirahat yang pendek.
Ternyata ia tidak sendiri. Hampir semua
temannya mendukung pendapatnya itu dan mereka beramai-ramai tenggelam gelombang
protes, dalam gerutuan yang panjang.
“Tidak seharusnya kita dikerasi atau
diindoktrinasi,”katanya.”Kita seharusnya diajak berdialog, membicarakan setiap
keinginan dan pandangan masing-masing yang mungkin berbeda. Sikap berdialog
itulah yang harus dikembangkan di tengah keluarga dan kita siap untuk berdialog,
tapi mereka tidak. Mereka takut kehilangan wibawa jika berdialog. Mereka lebih
suka menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya sebagai orang tua.”
“Dari awal seharusnya kita sudah diberitahu
bahwa ada hal-hal yang sangat prinsipil yang harus dianut dalam keluarga,
seperti aqidah, iman, dan larangan-larangan agama dan ada pula hal-hal yang
dianggap tak termasuk prinsipil.
Untuk yang pertama, bolehlah mereka
mengemukakan pendapat mereka sebagai hal yang tak boleh dilanggar. Jika
diberitahu secara baik-baik, kita bisa mengerti bukan? Untuk yang terakhir,
setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda bukan? Dan untuk yang terakhir
inilah, seharusnya bisa diselesaikan dalam dialog yang terbuka antara mereka
dengan kita sebab kita tahu, tujuan dialog sesungguhnya adalah untuk menemukan
solusi yang saiing memuaskan. Memuaskan bagi kita, anak-anaknya, dan memuaskan
bagi mereka sebagai orang tua.”
“Seharusnya orang tahu itu,”kata Anton lagi,
dikesempatan jam istirahat lain.”Tapi mengapa mereka tidak mau tahu? Karena
mereka salah. Mereka tidak punya waktu untuk bercerita dan berdialog panjang
lebar dengan kita, anak-anaknya.”
“Bukan kita yang harus dilatih untuk menjadi
anak baik, tapi mereka yang seharus dilatih untuk menjadi orang tua
efektif,”kata Anton mengutip tulisan Dr. Thomas Gordon dalam bukunya Parent Effectiveness Training.
Sumber : republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar