Jumat, 11 Januari 2019

A L I

“Saya sangat mengagumi Thomas Carlyle,”kata lelaki itu sesaat setelah menjabat tangan saya,”tetapi catatan anda dalam salah satu tulisan anda tentang Thomas Carlyle itu justru membuat saya tertegun. Itulah yang membuat saya menemukan kembali diri saya sendiri. Juga saat itu, ketika saya harus menerima kenyataan bahwa saya dirawat di sini.”
                Ia bernama Ali.
                Saya di telepon adiknya yang mengabarkan bahwa Ali sedang dilarikan ke rumah sakit karena baru saja mendapat serangan jantung sewaktu memimpin rapat di kantornya. Ketika mengetahui kondisinya stabil-stabil saja selama di ruang rawat intensif itu, saya tidak cemas merawatnya.
                “Saya sendiri tidak cemas. Apa pun yang saya alami,”katanya, seakan tahu tentang perasaan yang baru saja menggeliat dalam diri saya sendiri.
                “Saya mengagumi Thomas Carlyle. Juga catatan anda,”katanya lagi.
                Saya sudah lupa apa yang pernah saya tulis mengenai filsuf tersohor yang dimakamkan di pemakaman Westminster Abbey itu, tapi yang dalam surat wasiatnya menolak dimakamkan di situ. Ia lebih suka dimakamkan di desanya yang kecil, Ecclefechan. Satu-satunya yang saya masih ingat tentang Thomas Carlyle adalah pujiannya yang amat berlebihan tentang desanya yang kecil di pinggir Skotlandia, dekat kota Dumfries.
                “Bukan hanya itu,”kata Ali,” Thomas Carlyle lebih dikenal karena fahamnya yang hitam putih. Ia memang pemberontak di sepanjang hidupnya, yang pernah mengatakan bahwa tak pantas seseorang menjadi pengecut, sekalipun hanya lewat pikiran.
                Bagi Thomas Carlyle, hidup memang hanya diisi oleh para pahlawan dan para pengecut. Menjadi pahlawan adalah cita-cita. Setiap orang harus memiliki cita-cita itu dalam hidupnya. Pertanda seseorang hidup adalah cita-citanya untuk menjadi pahlawan.
                Memang bukan hal yang baru. Mungkin pula sudah begitu klise, tapi ketika kejenuhan dan kelesuan sudah begitu ganas merampok semangat kita atau situasi yang telah begitu lekat dengan keputusasaan seperti yang saya alami saat ini, kata-kata itu menjadi sesuatu baru kembali setiap kali diucapkan.”
                Saya sudah lupa dengan kata-kata Thomas Carlyle itu, sekalipun saya pernah mengutipnya dan menuliskannya. Seakan kata-kata Thomas Carlyle tidak menyentuh lagi bagi batin saya. Barangkali karena saya tak memerlukannya saat ini atau karena saya tidak berada dalam situasi seperti Ali, dirawat sebagai pasien jantung, suatu keadaan yang mencemaskan dan tak jarang membuat seseorang jatuh ke dalam rasa putus asa yang teramat dalam.
                “Tapi, catatan anda pun benar, dok. Ternyata, tidak selamanya memang kita bisa menjadi pahlawan dalam hidup ini. Kita tahu, di dunia ini, ternyata tidak hanya terdiri dari dua warna: hitam dan putih. Begitu banyak yang kelabu, yang membuat hidup ini menjadi tidak mudah. Pula: sekaligus menjadi sangat menarik. Lalu: jika kita menyadari kenyataan  bahwa tanpa menjadi pahlawan atau pengecut, seseorang masih bisa bahagia dalam hidup ini, apabila ia menjadi dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan,”kata Ali.
                Benar-benar saya sudah lupa dengan tulisan itu. Arsipnya pun mungkin sudah tak ada lagi. Tapi saya bersyukur Ali masih mengingatnya. Setidaknya pada saat seperti ini, dimana tak banyak sesungguhnya yang bisa diperbuat oleh seorang dokter dalam menangani serangan jantung yang menimpa seseorang, kecuali ketahanan yang dipunyai pasien itu sendiri.
Dan saya bersyukur Ali tidak kehilangan ketahanan itu sama sekali. Ia selalu tabah. Apa pun yang dialaminya, tak pernah membuatnya cemas berlebihan, seakan ia selalu siap menerima apa pun yang bakal terjadi. Ia siap menerima kenyataan yang, dianggap banyak orang, paling buruk sekalipun.
“Saya siap pergi menghadap-Nya,”katanya suatu hari.”Walaupun saya tak pernah memintanya. Saya hanya mempersiapkan bekal setiap hari agar tidak kurang. Kalau bekal kita tak cukup, kita tak perlu cemas, bukan?”
Diam-diam saya mengagumi sikap hidupnya itu.
Ia memang telah lama menemukan dirinya sendiri.

sumber: republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar