“Saya
sangat mengagumi Thomas Carlyle,”kata lelaki itu sesaat setelah menjabat tangan
saya,”tetapi catatan anda dalam salah satu tulisan anda tentang Thomas Carlyle
itu justru membuat saya tertegun. Itulah yang membuat saya menemukan kembali
diri saya sendiri. Juga saat itu, ketika saya harus menerima kenyataan bahwa
saya dirawat di sini.”
Ia bernama Ali.
Saya di telepon adiknya yang mengabarkan
bahwa Ali sedang dilarikan ke rumah sakit karena baru saja mendapat serangan
jantung sewaktu memimpin rapat di kantornya. Ketika mengetahui kondisinya
stabil-stabil saja selama di ruang rawat intensif itu, saya tidak cemas
merawatnya.
“Saya sendiri tidak cemas. Apa
pun yang saya alami,”katanya, seakan tahu tentang perasaan yang baru saja
menggeliat dalam diri saya sendiri.
“Saya mengagumi Thomas Carlyle.
Juga catatan anda,”katanya lagi.
Saya sudah lupa apa yang pernah
saya tulis mengenai filsuf tersohor yang dimakamkan di pemakaman Westminster
Abbey itu, tapi yang dalam surat wasiatnya menolak dimakamkan di situ. Ia lebih
suka dimakamkan di desanya yang kecil, Ecclefechan. Satu-satunya yang saya
masih ingat tentang Thomas Carlyle adalah pujiannya yang amat berlebihan
tentang desanya yang kecil di pinggir Skotlandia, dekat kota Dumfries.
“Bukan hanya itu,”kata Ali,” Thomas
Carlyle lebih dikenal karena fahamnya yang hitam putih. Ia memang pemberontak
di sepanjang hidupnya, yang pernah mengatakan bahwa tak pantas seseorang
menjadi pengecut, sekalipun hanya lewat pikiran.
Bagi Thomas Carlyle, hidup
memang hanya diisi oleh para pahlawan dan para pengecut. Menjadi pahlawan
adalah cita-cita. Setiap orang harus memiliki cita-cita itu dalam hidupnya.
Pertanda seseorang hidup adalah cita-citanya untuk menjadi pahlawan.
Memang bukan hal yang baru.
Mungkin pula sudah begitu klise, tapi ketika kejenuhan dan kelesuan sudah
begitu ganas merampok semangat kita atau situasi yang telah begitu lekat dengan
keputusasaan seperti yang saya alami saat ini, kata-kata itu menjadi sesuatu
baru kembali setiap kali diucapkan.”
Saya sudah lupa dengan kata-kata
Thomas Carlyle itu, sekalipun saya pernah mengutipnya dan menuliskannya. Seakan
kata-kata Thomas Carlyle tidak menyentuh lagi bagi batin saya. Barangkali
karena saya tak memerlukannya saat ini atau karena saya tidak berada dalam situasi
seperti Ali, dirawat sebagai pasien jantung, suatu keadaan yang mencemaskan dan
tak jarang membuat seseorang jatuh ke dalam rasa putus asa yang teramat dalam.
“Tapi, catatan anda pun benar,
dok. Ternyata, tidak selamanya memang kita bisa menjadi pahlawan dalam hidup
ini. Kita tahu, di dunia ini, ternyata tidak hanya terdiri dari dua warna:
hitam dan putih. Begitu banyak yang kelabu, yang membuat hidup ini menjadi
tidak mudah. Pula: sekaligus menjadi sangat menarik. Lalu: jika kita menyadari
kenyataan bahwa tanpa menjadi pahlawan
atau pengecut, seseorang masih bisa bahagia dalam hidup ini, apabila ia menjadi
dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan,”kata Ali.
Benar-benar saya sudah lupa
dengan tulisan itu. Arsipnya pun mungkin sudah tak ada lagi. Tapi saya
bersyukur Ali masih mengingatnya. Setidaknya pada saat seperti ini, dimana tak
banyak sesungguhnya yang bisa diperbuat oleh seorang dokter dalam menangani
serangan jantung yang menimpa seseorang, kecuali ketahanan yang dipunyai pasien
itu sendiri.
Dan
saya bersyukur Ali tidak kehilangan ketahanan itu sama sekali. Ia selalu tabah.
Apa pun yang dialaminya, tak pernah membuatnya cemas berlebihan, seakan ia
selalu siap menerima apa pun yang bakal terjadi. Ia siap menerima kenyataan
yang, dianggap banyak orang, paling buruk sekalipun.
“Saya
siap pergi menghadap-Nya,”katanya suatu hari.”Walaupun saya tak pernah
memintanya. Saya hanya mempersiapkan bekal setiap hari agar tidak kurang. Kalau
bekal kita tak cukup, kita tak perlu cemas, bukan?”
Diam-diam
saya mengagumi sikap hidupnya itu.
Ia
memang telah lama menemukan dirinya sendiri.
sumber: republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar