Kamis, 24 Januari 2019

BEN

Namanya Ben. Bukan Benyamin Suaeb. Cuma Ben begitu saja.

“Saya memang hanya Ben,”katanya dimana-mana.”Taka da artinya. Tak ada konotasi apa pun. Ben.”

Tapi, dialah yang mempunyai kelompok penyanyi jalanan di kampus itu. Mereka suka mengadakan pagelaran di taman-taman. Seperti siang itu, sehabis melakukan demonstrasi ke DPR, lalu kembali ke kampus membuat rencana untuk esok harinya.

Ben pun mulai menyanyi. Mahasiswa yang lain duduk melingkar di rerumputan itu, betepuk tangan dan tertawa. Siang terasa menyengat. Dan angina mati. Tapi mereka makin bersemangat.
Bernyanyi-nyanyi.

“Mereka berpesta pora sepanjang hari. Adakah kita mesti selalu berdiam diri…”

Lingkaran orang-orang yang makin padat itu  bertepuk-tepuk  ramai sekali. Ada yang memukul-mukul bangku taman, ada yang memukul-mukul paha sendiri. Ada juga menari-nari , ada yang hanya tersenyum-senyum sambil berdiri. Kelompok Ben makin bersemangat bernyanyi.

“Mengapa kita biarkan mereka berpesta pora, menghabiskan uang rakyat, bagaikan milik nenek moyang sendiri? Mengapa kita biarkan merajalela pelbagai kolusi? Mengapa kita biarkan mereka terang-terangan melakukan korupsi?”

“Kita telah dibius selama ini dengan nina bobo dan basa-basi. Kita pun turut menikmati hasil korupsi itu dari kantung orang tua kita sendiri…”

Lalu senar gitar disentilnya.

“Tapi, kita tak melakukannya. Ada dilema dimana-mana. Ada dilema menghantui kita dan kita tidak bisa apa-apa.”

Lalu gendang pun dipukul bertalu-talu.

“Tak bolehkah kita bicara dan mengucapkan kata tobat sekali lagi? Tak bolehkah kita menyanyi lalu melakukan mawas diri?”

Anak-anak muda itu menumpahkan segenap kegundahan yang mengguncang selama ini. Nurani yang yang masih peka dan bersih merekam kehidupan di sekitar yang makin aneh berkepanjangan. Mereka menyaksikan kemunafikan di mana-mana. Kekuasaan yang angkuh, tak terjamah. Mereka menyaksikan ketidakadilan di mana-mana. Mereka menyaksikan kemiskinan di satu sisi dan pamer kekayaan berlebihan  di sisi yang lain.

Seorang penonton berteriak,”Hidup Indonesia!”

“Hidup! Hidup!”seru yang lain.

“Inilah negeri kita. Jangan biarkan porak poranda.”

“Bersihkan kolusi!”teriak mereka.

“Inilah lagu protes kita. Jangan biarkan mereka makin rakus hanya karena merasa berjasa. Semua rakyat berjasa. Hanya nasib saja pada mereka dan sekaligus ujian mereka. Sekaligus pembuktian bahwa mereka hanyalah manusia biasa.”

“Inilah lagu protes yang harus kita nyanyikan saat ini. Karena kita tak bisa lagi menanti. Kekuasaan sekarang terlalu lama, sampai kita sempat menyaksikan, sehabis menjadi pahlawan, lalu menjadi rakus. Sehabis mengucapkan idealisme pembangunan, lalu memeras habis-habisan. Kita telah kehilangan semua pahlawan, kecuali  yang sudah beristirahat di makam pada masa perjuangan…”

“Kekuasaan sekarang terlalu lama bagaikan benang kusut. Tak tahu lagi kapan sebaiknya berhenti.”

Lalu suara mereka kian meninggi. Dalam irama rock yang cepat yang menyayat, Ben memetik gitarnya sementara yang lain memukul gendang.

“Kekuasaan harus dibatasi agar mereka tahu diri. Kekuasaan haruslah dibatasi agar mereka tak sempat korupsi. Adalah sayang jika mereka sampai menodai perjuangannya sendiri..”

“Mereka tak pernah menyadari. Mereka berhari-hari hanya mencari rasionalisasi. Seakan merekalah yang benar. Pikiran-pikiran mereka. Tindakan-tindakan mereka. Mereka pun menyebut-nyebut Tuhan untuk membenarkan diri mereka. Tapi, mengapa Tuhan diam saja? Berpikirlah sendiri!”

Siang makin sangar. Makin banyak yang melingkar. Kelompok Ben makin bersemangat memetik gitar. Penonton makin berkeringat melepaskan uneg-unegnya, berkibar-kibar. Mereka terus bernyanyi siang itu sementara yang lain menyusun startegi untuk demo esok harinya, dalam diskusi yang menyita energi.

sumber: republika



Tidak ada komentar:

Posting Komentar