Namanya Ben. Bukan
Benyamin Suaeb. Cuma Ben begitu saja.
“Saya memang hanya
Ben,”katanya dimana-mana.”Taka da artinya. Tak ada konotasi apa pun. Ben.”
Tapi, dialah yang
mempunyai kelompok penyanyi jalanan di kampus itu. Mereka suka mengadakan
pagelaran di taman-taman. Seperti siang itu, sehabis melakukan demonstrasi ke
DPR, lalu kembali ke kampus membuat rencana untuk esok harinya.
Ben pun mulai menyanyi.
Mahasiswa yang lain duduk melingkar di rerumputan itu, betepuk tangan dan
tertawa. Siang terasa menyengat. Dan angina mati. Tapi mereka makin
bersemangat.
Bernyanyi-nyanyi.
“Mereka berpesta pora
sepanjang hari. Adakah kita mesti selalu berdiam diri…”
Lingkaran orang-orang
yang makin padat itu bertepuk-tepuk ramai sekali. Ada yang memukul-mukul bangku taman,
ada yang memukul-mukul paha sendiri. Ada juga menari-nari , ada yang hanya
tersenyum-senyum sambil berdiri. Kelompok Ben makin bersemangat bernyanyi.
“Mengapa kita biarkan
mereka berpesta pora, menghabiskan uang rakyat, bagaikan milik nenek moyang sendiri?
Mengapa kita biarkan merajalela pelbagai kolusi? Mengapa kita biarkan mereka
terang-terangan melakukan korupsi?”
“Kita telah dibius
selama ini dengan nina bobo dan basa-basi. Kita pun turut menikmati hasil
korupsi itu dari kantung orang tua kita sendiri…”
Lalu senar gitar
disentilnya.
“Tapi, kita tak
melakukannya. Ada dilema dimana-mana. Ada dilema menghantui kita dan kita tidak
bisa apa-apa.”
Lalu gendang pun dipukul
bertalu-talu.
“Tak bolehkah kita
bicara dan mengucapkan kata tobat sekali lagi? Tak bolehkah kita menyanyi lalu
melakukan mawas diri?”
Anak-anak muda itu
menumpahkan segenap kegundahan yang mengguncang selama ini. Nurani yang yang
masih peka dan bersih merekam kehidupan di sekitar yang makin aneh
berkepanjangan. Mereka menyaksikan kemunafikan di mana-mana. Kekuasaan yang
angkuh, tak terjamah. Mereka menyaksikan ketidakadilan di mana-mana. Mereka
menyaksikan kemiskinan di satu sisi dan pamer kekayaan berlebihan di sisi yang lain.
Seorang penonton
berteriak,”Hidup Indonesia!”
“Hidup! Hidup!”seru yang
lain.
“Inilah negeri kita.
Jangan biarkan porak poranda.”
“Bersihkan
kolusi!”teriak mereka.
“Inilah lagu protes
kita. Jangan biarkan mereka makin rakus hanya karena merasa berjasa. Semua
rakyat berjasa. Hanya nasib saja pada mereka dan sekaligus ujian mereka.
Sekaligus pembuktian bahwa mereka hanyalah manusia biasa.”
“Inilah lagu protes yang
harus kita nyanyikan saat ini. Karena kita tak bisa lagi menanti. Kekuasaan
sekarang terlalu lama, sampai kita sempat menyaksikan, sehabis menjadi pahlawan,
lalu menjadi rakus. Sehabis mengucapkan idealisme pembangunan, lalu memeras
habis-habisan. Kita telah kehilangan semua pahlawan, kecuali yang sudah beristirahat di makam pada masa
perjuangan…”
“Kekuasaan sekarang
terlalu lama bagaikan benang kusut. Tak tahu lagi kapan sebaiknya berhenti.”
Lalu suara mereka kian
meninggi. Dalam irama rock yang cepat yang menyayat, Ben memetik gitarnya
sementara yang lain memukul gendang.
“Kekuasaan harus
dibatasi agar mereka tahu diri. Kekuasaan haruslah dibatasi agar mereka tak
sempat korupsi. Adalah sayang jika mereka sampai menodai perjuangannya
sendiri..”
“Mereka tak pernah
menyadari. Mereka berhari-hari hanya mencari rasionalisasi. Seakan merekalah
yang benar. Pikiran-pikiran mereka. Tindakan-tindakan mereka. Mereka pun
menyebut-nyebut Tuhan untuk membenarkan diri mereka. Tapi, mengapa Tuhan diam
saja? Berpikirlah sendiri!”
Siang makin sangar.
Makin banyak yang melingkar. Kelompok Ben makin bersemangat memetik gitar.
Penonton makin berkeringat melepaskan uneg-unegnya, berkibar-kibar. Mereka
terus bernyanyi siang itu sementara yang lain menyusun startegi untuk demo esok
harinya, dalam diskusi yang menyita energi.
sumber: republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar