Jika kau menanyakan
mengapa Desy, wanita anggun, cerdas, dan lembut itu, terpaksa memutuskan harus
bercerai dengan Herman yang diakuinya selama ini sangat dicintainya? Tidaklah
itu semata-mata karena mereka tidak mau berpura-pura lebih lama lagi?
“Yang benar, Des?”ujar Lily
tak percaya.
Desy mengangguk pelan.
“Mengapa? Tidakkah
hubungan kalian selama ini baik-baik saja?”
Desy tidak menjawab. Ia
hanya tersenyum sesaat dan menunduk. Wajahnya
yang bersih tak bercahaya. Mendung menyapu seluruh seluruh keceriaan
yang pernah dimiikinya. Betapa pun ia berusaha tegas menyibaknya.
Perceraian memang
menyakitkan, tapi, tidakkah kepura-puraan yang mereka lakukan selam ini untuk
menunda perceraian justru terasa lebih menyakitkan?
“Saya tidak mau
munafik,”kata Desy.”Taka da yang tahu, perkawinan kami sesungguhnya sudah lama
berakkhir. Berbagai usaha sudah pernah kami lakukan untuk menyelamatkannya,
tapi, ternyata kami pura-pura sajanya selama ini. Pura-pura berbahagia,
pura-pura sebagai sebuah keluarga yang rukun dan saling mengasihi seperti apa
yang tampak oleh orang lain.
Bukankah kami sarjana,
dari kalangan intelektual, sehingga tak pantas kiranya jika sampai bercerai?
Bukankah perceraian sangat memalukan hingga kami berusaha mempertahankan
perkawinan kami, sekalipun dengan bersikap munafik seperti itu, pura-pura rukun
dan bahagia?
“Sesungguhnya kami sudah
hidup sendiri-sendiri. Penghasilan saya selama ini tak kalah dengan Herman.
Kami sekarang bebas berbuat apa saja yang kami hendaki dengan harta milik
masing-masing. Satu-satunya yang masih milik bersama hanyalah kedua anak kami.
Merekalah yang menyebabkan kami masih bertahan untuk tinggal dibawah satu atap
dan berusaha menutupi keretakan perkawinan kami dari pandangan orang lain.”
Desy menyapu sudut
matanya.
“Kesalahannya mungkin
memang terletak sejak awal ketika kami memutuskan untuk memasuki jenjang
perkawinan,”kata Desy,”Kami mungkin memang tidak lulus ketika saling jatuh
cinta waktu itu.”
“Tapi, banyak perkawinan
yang tidak dimulai dengan saling jatuh cinta, toh, mereka ternyata
berbahagia,”ujar Lily.
“Ya, saya tahu. Tapi,
bukankah itu memang dilahirkan dalam suatu keluarga yang berada dan berkembang
di tengah kelompok masyarakata yang tidak sama?”
Dengan kesadaran seperti
itulah Desy mencoba memahami keputusannya sendiri akhirnya untuk berpisah
dengan Herman. “Saya tidak munafik,”kata Desy lagi.
sumber: Republik