Jumat, 25 Januari 2019

D E S Y

Jika kau menanyakan mengapa Desy, wanita anggun, cerdas, dan lembut itu, terpaksa memutuskan harus bercerai dengan Herman yang diakuinya selama ini sangat dicintainya? Tidaklah itu semata-mata karena mereka tidak mau berpura-pura lebih lama lagi?
“Yang benar, Des?”ujar Lily tak percaya.
Desy mengangguk pelan.
“Mengapa? Tidakkah hubungan kalian selama ini baik-baik saja?”
Desy tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sesaat dan menunduk. Wajahnya  yang bersih tak bercahaya. Mendung menyapu seluruh seluruh keceriaan yang pernah dimiikinya. Betapa pun ia berusaha tegas menyibaknya.
Perceraian memang menyakitkan, tapi, tidakkah kepura-puraan yang mereka lakukan selam ini untuk menunda perceraian justru terasa lebih menyakitkan?
“Saya tidak mau munafik,”kata Desy.”Taka da yang tahu, perkawinan kami sesungguhnya sudah lama berakkhir. Berbagai usaha sudah pernah kami lakukan untuk menyelamatkannya, tapi, ternyata kami pura-pura sajanya selama ini. Pura-pura berbahagia, pura-pura sebagai sebuah keluarga yang rukun dan saling mengasihi seperti apa yang tampak oleh orang lain.
Bukankah kami sarjana, dari kalangan intelektual, sehingga tak pantas kiranya jika sampai bercerai? Bukankah perceraian sangat memalukan hingga kami berusaha mempertahankan perkawinan kami, sekalipun dengan bersikap munafik seperti itu, pura-pura rukun dan bahagia?
“Sesungguhnya kami sudah hidup sendiri-sendiri. Penghasilan saya selama ini tak kalah dengan Herman. Kami sekarang bebas berbuat apa saja yang kami hendaki dengan harta milik masing-masing. Satu-satunya yang masih milik bersama hanyalah kedua anak kami. Merekalah yang menyebabkan kami masih bertahan untuk tinggal dibawah satu atap dan berusaha menutupi keretakan perkawinan kami dari pandangan orang lain.”
Desy menyapu sudut matanya.
“Kesalahannya mungkin memang terletak sejak awal ketika kami memutuskan untuk memasuki jenjang perkawinan,”kata Desy,”Kami mungkin memang tidak lulus ketika saling jatuh cinta waktu itu.”
“Tapi, banyak perkawinan yang tidak dimulai dengan saling jatuh cinta, toh, mereka ternyata berbahagia,”ujar Lily.
“Ya, saya tahu. Tapi, bukankah itu memang dilahirkan dalam suatu keluarga yang berada dan berkembang di tengah kelompok masyarakata yang tidak sama?”
Dengan kesadaran seperti itulah Desy mencoba memahami keputusannya sendiri akhirnya untuk berpisah dengan Herman. “Saya tidak munafik,”kata Desy lagi.

sumber: Republik


Kamis, 24 Januari 2019

BEN

Namanya Ben. Bukan Benyamin Suaeb. Cuma Ben begitu saja.

“Saya memang hanya Ben,”katanya dimana-mana.”Taka da artinya. Tak ada konotasi apa pun. Ben.”

Tapi, dialah yang mempunyai kelompok penyanyi jalanan di kampus itu. Mereka suka mengadakan pagelaran di taman-taman. Seperti siang itu, sehabis melakukan demonstrasi ke DPR, lalu kembali ke kampus membuat rencana untuk esok harinya.

Ben pun mulai menyanyi. Mahasiswa yang lain duduk melingkar di rerumputan itu, betepuk tangan dan tertawa. Siang terasa menyengat. Dan angina mati. Tapi mereka makin bersemangat.
Bernyanyi-nyanyi.

“Mereka berpesta pora sepanjang hari. Adakah kita mesti selalu berdiam diri…”

Lingkaran orang-orang yang makin padat itu  bertepuk-tepuk  ramai sekali. Ada yang memukul-mukul bangku taman, ada yang memukul-mukul paha sendiri. Ada juga menari-nari , ada yang hanya tersenyum-senyum sambil berdiri. Kelompok Ben makin bersemangat bernyanyi.

“Mengapa kita biarkan mereka berpesta pora, menghabiskan uang rakyat, bagaikan milik nenek moyang sendiri? Mengapa kita biarkan merajalela pelbagai kolusi? Mengapa kita biarkan mereka terang-terangan melakukan korupsi?”

“Kita telah dibius selama ini dengan nina bobo dan basa-basi. Kita pun turut menikmati hasil korupsi itu dari kantung orang tua kita sendiri…”

Lalu senar gitar disentilnya.

“Tapi, kita tak melakukannya. Ada dilema dimana-mana. Ada dilema menghantui kita dan kita tidak bisa apa-apa.”

Lalu gendang pun dipukul bertalu-talu.

“Tak bolehkah kita bicara dan mengucapkan kata tobat sekali lagi? Tak bolehkah kita menyanyi lalu melakukan mawas diri?”

Anak-anak muda itu menumpahkan segenap kegundahan yang mengguncang selama ini. Nurani yang yang masih peka dan bersih merekam kehidupan di sekitar yang makin aneh berkepanjangan. Mereka menyaksikan kemunafikan di mana-mana. Kekuasaan yang angkuh, tak terjamah. Mereka menyaksikan ketidakadilan di mana-mana. Mereka menyaksikan kemiskinan di satu sisi dan pamer kekayaan berlebihan  di sisi yang lain.

Seorang penonton berteriak,”Hidup Indonesia!”

“Hidup! Hidup!”seru yang lain.

“Inilah negeri kita. Jangan biarkan porak poranda.”

“Bersihkan kolusi!”teriak mereka.

“Inilah lagu protes kita. Jangan biarkan mereka makin rakus hanya karena merasa berjasa. Semua rakyat berjasa. Hanya nasib saja pada mereka dan sekaligus ujian mereka. Sekaligus pembuktian bahwa mereka hanyalah manusia biasa.”

“Inilah lagu protes yang harus kita nyanyikan saat ini. Karena kita tak bisa lagi menanti. Kekuasaan sekarang terlalu lama, sampai kita sempat menyaksikan, sehabis menjadi pahlawan, lalu menjadi rakus. Sehabis mengucapkan idealisme pembangunan, lalu memeras habis-habisan. Kita telah kehilangan semua pahlawan, kecuali  yang sudah beristirahat di makam pada masa perjuangan…”

“Kekuasaan sekarang terlalu lama bagaikan benang kusut. Tak tahu lagi kapan sebaiknya berhenti.”

Lalu suara mereka kian meninggi. Dalam irama rock yang cepat yang menyayat, Ben memetik gitarnya sementara yang lain memukul gendang.

“Kekuasaan harus dibatasi agar mereka tahu diri. Kekuasaan haruslah dibatasi agar mereka tak sempat korupsi. Adalah sayang jika mereka sampai menodai perjuangannya sendiri..”

“Mereka tak pernah menyadari. Mereka berhari-hari hanya mencari rasionalisasi. Seakan merekalah yang benar. Pikiran-pikiran mereka. Tindakan-tindakan mereka. Mereka pun menyebut-nyebut Tuhan untuk membenarkan diri mereka. Tapi, mengapa Tuhan diam saja? Berpikirlah sendiri!”

Siang makin sangar. Makin banyak yang melingkar. Kelompok Ben makin bersemangat memetik gitar. Penonton makin berkeringat melepaskan uneg-unegnya, berkibar-kibar. Mereka terus bernyanyi siang itu sementara yang lain menyusun startegi untuk demo esok harinya, dalam diskusi yang menyita energi.

sumber: republika



Selasa, 22 Januari 2019

ANTON

“Selalu melarang! Selalu melarang!,”gerutu Anton seraya memasuki kamarnya.”Tahunya  hanya melarang.’
Keki benar ia pada orang tuanya. Ia merasa orang tuanya tidak fair. Mereka selalu melarangnya pulang telat sementara, menurut Anton, mereka sendiri selalu pulang malam.
“Papa kan kerja. Mama juga kerja. Tapi kau? Main melulu hingga pulang telat?”kata papanya.
Anton tidak bisa menerima tuduhan seperti itu. Tak selalu ia pulang telat karena ngelayap. Kadang-kadang ia latihan karate atau mengerjakan  soal-soal sekolah di rumah teman atau menyelesaikan pekerjaan rumah bersama.
“Alasan!”kata Papa ketus.
“Percaya atau tidak, terserah!”jawab Anton sengit.
Mungkin karena tanya jawab sudah berubah menjadi saling tuduh atau suatu dialog tak pernah bisa berkembang di antara mereka karena masing-masing sudah mengawalinya  lebih dulu dengan sikap curiga yang berada tidak pada tempatnya, maka komunikasi pun mati. Pertengkaran marak. Perebutan kalah menang: siapa yang benar, siapa yang kalah.
Dan Anton jelas kalah. Tak boleh keluar rumah selama seminggu, sehabis sekolah, apa pun alasannya. Ia hanya tergolek di kamarnya, membaca majalah, atau menyetel musik keras-keras. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi kecuali menggerutu. Ia tidak bisa menerima perlakuan yang tidak adil seperti ini.
“Mentang-mentang punya kekuasaan,”gerutunya berkepanjangan,”Apakah kemudian mereka mempunyai hak untuk bersikap tidak fair? Tidakkah kekuasaan harus diperlakukan hati-hati? Seharusnya mereka tahu bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan sembarangan karena kekuasaan cenderung menekan. Jika di dalam rumah sendiri mereka biasa bersikap diktator seperti itu, tidakkah di luar juga akan demikian juga?”
“Jangan heran jika jika Negara ini diperintah oleh para diktator,”ujar Anton lagi.
Dan kesengitan itu disusul dengan kesengitan lain. Kita yang selalu disalahkan, katanya lagi. Kita yang selalu dituduh macam-macam, tidak menatap masa depan segala. Tidakkah justru mereka sendiri yang mewariskan nilai-nilai diktatoristik itu dan nilai-nilai tak benar lainnya, sementara mereka dengan arogannya merasa telah mempersiapkan masa depan kita dengan sebaik-baiknya?
Protes itu berkembang semakin banyak, semakin melebar, semakin aneh, dan semakin tak terkendali. Berjam-jam. Berrhari-hari. Berbulan-bulan.
“Mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka begitu mudah untuk menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, justru untuk menutupi kelemahan mereka sendiri,”kata Anton, suatu hari di warung sekolah, pada jam istirahat yang pendek.
Ternyata ia tidak sendiri. Hampir semua temannya mendukung pendapatnya itu dan mereka beramai-ramai tenggelam gelombang protes, dalam gerutuan yang panjang.
“Tidak seharusnya kita dikerasi atau diindoktrinasi,”katanya.”Kita seharusnya diajak berdialog, membicarakan setiap keinginan dan pandangan masing-masing yang mungkin berbeda. Sikap berdialog itulah yang harus dikembangkan di tengah keluarga dan kita siap untuk berdialog, tapi mereka tidak. Mereka takut kehilangan wibawa jika berdialog. Mereka lebih suka menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya sebagai orang tua.”
“Dari awal seharusnya kita sudah diberitahu bahwa ada hal-hal yang sangat prinsipil yang harus dianut dalam keluarga, seperti aqidah, iman, dan larangan-larangan agama dan ada pula hal-hal yang dianggap tak termasuk prinsipil.
Untuk yang pertama, bolehlah mereka mengemukakan pendapat mereka sebagai hal yang tak boleh dilanggar. Jika diberitahu secara baik-baik, kita bisa mengerti bukan? Untuk yang terakhir, setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda bukan? Dan untuk yang terakhir inilah, seharusnya bisa diselesaikan dalam dialog yang terbuka antara mereka dengan kita sebab kita tahu, tujuan dialog sesungguhnya adalah untuk menemukan solusi yang saiing memuaskan. Memuaskan bagi kita, anak-anaknya, dan memuaskan bagi mereka sebagai orang tua.”
“Seharusnya orang tahu itu,”kata Anton lagi, dikesempatan jam istirahat lain.”Tapi mengapa mereka tidak mau tahu? Karena mereka salah. Mereka tidak punya waktu untuk bercerita dan berdialog panjang lebar dengan kita, anak-anaknya.”
“Bukan kita yang harus dilatih untuk menjadi anak baik, tapi mereka yang seharus dilatih untuk menjadi orang tua efektif,”kata Anton mengutip tulisan Dr. Thomas Gordon dalam bukunya Parent Effectiveness Training.

Sumber : republika

Sabtu, 19 Januari 2019

A T I K A H


Perkawinan mereka tidak bisa dipertahankan lagi.
“Salahkan suatu perceraian jika suatu pernikahan telah lama tidak bisa dipertahankan lagi?”keluh Atikah malam itu dikamarnya, seorang diri.
Keluhan itu memang mengungkapkan kepedihan yang teramat dalam. Sebuah tema kesengsaraan yang hitam, kesendirian yang kelam. Mungkin pula suatu kesepian yang teramat menekan dan lelehan air mata yang telah mengering diam-diam.

Ary tak kembali. Ia pergi tanpa pamit lagi, setelah pertengkaran yang hebat marak di sudut-sudut kamar itu dan membakari bantal-bantal mereka. Padahal perkawinan mereka belumlah seumur jagung. Betapa cepat kemesraan itu berlalu, betapa cepat keindahan malam-malam yang penuh gairah itu menguap bagai tak pernah ada sebelumnya. Bagaikan angin kelabu yang bertiup sesaat dengan gemetar kemudian menghilang. Bagaikan gerimis yang melesat cepat di sore yang kelam.
Salah siapakah di antara mereka, jika ternyata mereka tidak mampu mempertahankan janji-janji yang baru saja diucapkan itu? Salah siapakah sehingga bulan madu mereka begitu cepat hambar? Salah siapakah? Ya, salah siapakah?

Kita tidak tahu. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah tahu. Tapi, kisah tentang pelbagai perkawinan yang terpuruk hanya beberapa minggu setelah dikukuhkan, beruntun datang. Silih berganti. Dan kita tak sempat mengetahui apa yang menyebabkannya. Begitu mudahkan cinta pupus? Cinta yang mengebu-gebu sebelumnya, begitu mudahkah cinta padam hanya oleh selembar gerimis tipis? Kita tidak tahu. Satu-satunya yang kita tahu mungkin bahwa komunikasi di antara mereka memang sudah lama tidak jalan. Komunikasi telah mati. Mereka pun menjadi asing satu sama lain. Ternyata: Mereka memang tak saling mengenal. Benar: Mereka tak saling mengenal.
“Padahal,”kata Dr. Joyce Brothers,”siapa pun yang hendak memasuki gerbang perkawinan seharusnya sudah mengenal pasangannya dengan sebaik-baiknya. Jangan gegabah memilih pasangan sebab perkawinan, betapa pun, adalah bagian yang tak ternilai dari perjalanan sejarah seseorang di sepanjang hidupnya.”

Dalam bukunya, What Every Woman Should Know About Men, Dr. Joyce Brothers menyarankan bahwa seorang wanita harus benar-benar meneliti pasangannya lebih dulu, sebelum memutuskan untuk menerima lamaran lelaki itu.
“Sebab lelaki,”tulis Dr. Brothers,”penuh kabut dan kabut itu harus disingkapkan.”
“Seorang wanita dapat meningkatkan hubungannya dengan lelaki mana pun--suaminya, anaknya, teman-teman di kantornya, orang-orang yang mengaguminya dan sebagainya—apabila ia mengerti lebih banyak mengenai kebiasaan-kebiasaan lelaki: ketakutannya yang tersembunyi, kecemasannya terhadap kemampuan seksualnya, cita-cita dan pandangan hidupnya, kehausan dan kerakusannya untuk dicintai, fragilitas hidupnya, dan sebagainya.”

Berdasarkan pengalaman konsultasi yang ditekuninya bertahun-tahun, Dr. Joyce Brothers menyadari bahwa banyak wanita yang sesungguhnya tak mengenal pasangannya, padahal mereka sudah lama hidup bersama, saling mencintai, bekerja bersama, dan mengasihi anak-anak yang lahir beruntun dalam hidup mereka.
“Lelaki tak lebih bagaikan porselin yang sangat fragil,”kata Dr. Joyce Brothers,”Itulah yang harus benar-benar difahami oleh seorang wanita.”

Dan itulah pula yang saya kutip dan katakan pada Atika ketika ia datang ke rumah sakit untuk konsultasi. Agak aneh memang, ia datang mengunjungi saya untuk konsultasi, padahal sama sekali tak ada kelainan pada jantungnya. Ia hanya mengeluh sering berdebar di malam hari dan mengalami serangan sesak yang berulang berkali-kali.

“Jika sekarang anda terpaksa memilih perceraian, mungkin karena  anda memang belum membaca What Every Woman Should Know About Men itu. Dr. Dr. Joyce Brothers menekankan bahwa banyak perkawinan yang terpuruk disebabkan oleh fragilnya watak seorang lelaki dan sayangnya anda tak mengenalinya,”kata saya pada Atika.

Dalam hati saya mengatakan bahwa Dr. Joyce Brothers mungkin lupa menganjurkan kaumnya untuk meneliti liku-liku dirinya sendiri lebih dulu sebelum meneliti lika-liku laki-laki. Buku What Every Woman Should Know About Herself memang tak pernah ditulisnya.


Sumber: Republika

Jumat, 11 Januari 2019

A L I

“Saya sangat mengagumi Thomas Carlyle,”kata lelaki itu sesaat setelah menjabat tangan saya,”tetapi catatan anda dalam salah satu tulisan anda tentang Thomas Carlyle itu justru membuat saya tertegun. Itulah yang membuat saya menemukan kembali diri saya sendiri. Juga saat itu, ketika saya harus menerima kenyataan bahwa saya dirawat di sini.”
                Ia bernama Ali.
                Saya di telepon adiknya yang mengabarkan bahwa Ali sedang dilarikan ke rumah sakit karena baru saja mendapat serangan jantung sewaktu memimpin rapat di kantornya. Ketika mengetahui kondisinya stabil-stabil saja selama di ruang rawat intensif itu, saya tidak cemas merawatnya.
                “Saya sendiri tidak cemas. Apa pun yang saya alami,”katanya, seakan tahu tentang perasaan yang baru saja menggeliat dalam diri saya sendiri.
                “Saya mengagumi Thomas Carlyle. Juga catatan anda,”katanya lagi.
                Saya sudah lupa apa yang pernah saya tulis mengenai filsuf tersohor yang dimakamkan di pemakaman Westminster Abbey itu, tapi yang dalam surat wasiatnya menolak dimakamkan di situ. Ia lebih suka dimakamkan di desanya yang kecil, Ecclefechan. Satu-satunya yang saya masih ingat tentang Thomas Carlyle adalah pujiannya yang amat berlebihan tentang desanya yang kecil di pinggir Skotlandia, dekat kota Dumfries.
                “Bukan hanya itu,”kata Ali,” Thomas Carlyle lebih dikenal karena fahamnya yang hitam putih. Ia memang pemberontak di sepanjang hidupnya, yang pernah mengatakan bahwa tak pantas seseorang menjadi pengecut, sekalipun hanya lewat pikiran.
                Bagi Thomas Carlyle, hidup memang hanya diisi oleh para pahlawan dan para pengecut. Menjadi pahlawan adalah cita-cita. Setiap orang harus memiliki cita-cita itu dalam hidupnya. Pertanda seseorang hidup adalah cita-citanya untuk menjadi pahlawan.
                Memang bukan hal yang baru. Mungkin pula sudah begitu klise, tapi ketika kejenuhan dan kelesuan sudah begitu ganas merampok semangat kita atau situasi yang telah begitu lekat dengan keputusasaan seperti yang saya alami saat ini, kata-kata itu menjadi sesuatu baru kembali setiap kali diucapkan.”
                Saya sudah lupa dengan kata-kata Thomas Carlyle itu, sekalipun saya pernah mengutipnya dan menuliskannya. Seakan kata-kata Thomas Carlyle tidak menyentuh lagi bagi batin saya. Barangkali karena saya tak memerlukannya saat ini atau karena saya tidak berada dalam situasi seperti Ali, dirawat sebagai pasien jantung, suatu keadaan yang mencemaskan dan tak jarang membuat seseorang jatuh ke dalam rasa putus asa yang teramat dalam.
                “Tapi, catatan anda pun benar, dok. Ternyata, tidak selamanya memang kita bisa menjadi pahlawan dalam hidup ini. Kita tahu, di dunia ini, ternyata tidak hanya terdiri dari dua warna: hitam dan putih. Begitu banyak yang kelabu, yang membuat hidup ini menjadi tidak mudah. Pula: sekaligus menjadi sangat menarik. Lalu: jika kita menyadari kenyataan  bahwa tanpa menjadi pahlawan atau pengecut, seseorang masih bisa bahagia dalam hidup ini, apabila ia menjadi dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan,”kata Ali.
                Benar-benar saya sudah lupa dengan tulisan itu. Arsipnya pun mungkin sudah tak ada lagi. Tapi saya bersyukur Ali masih mengingatnya. Setidaknya pada saat seperti ini, dimana tak banyak sesungguhnya yang bisa diperbuat oleh seorang dokter dalam menangani serangan jantung yang menimpa seseorang, kecuali ketahanan yang dipunyai pasien itu sendiri.
Dan saya bersyukur Ali tidak kehilangan ketahanan itu sama sekali. Ia selalu tabah. Apa pun yang dialaminya, tak pernah membuatnya cemas berlebihan, seakan ia selalu siap menerima apa pun yang bakal terjadi. Ia siap menerima kenyataan yang, dianggap banyak orang, paling buruk sekalipun.
“Saya siap pergi menghadap-Nya,”katanya suatu hari.”Walaupun saya tak pernah memintanya. Saya hanya mempersiapkan bekal setiap hari agar tidak kurang. Kalau bekal kita tak cukup, kita tak perlu cemas, bukan?”
Diam-diam saya mengagumi sikap hidupnya itu.
Ia memang telah lama menemukan dirinya sendiri.

sumber: republika

Selasa, 08 Januari 2019

R O M I




Di malam yang retak-retak karena gemelut jam dinding itu, ia tersedot ke dalam ruang yang teramat luas, tanpa batas. Cahaya kelabu berpendar di mana-mana. Sunyi dan hening sekali. Ia merasa melayang, berkibar-kibar, mengikuti garis lurus cahaya yang sangat terang menuju ke langit, entah kemana.

Wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar. Matanya kosong dan legam. Rasa takut yang berkilat-kilat di dalamnya.

Seseorang menyambutnya.

“Kemarilah,”suaranya sejuk.

Romi gemetar.

“Kemarilah, anakku,”suaranya lagi, perlahan.

Romi tak sanggup melangkah. Seluruh tubuhnya lemas. Ia hanya menatapi orang tua yang menyambutnya itu. Dilihatnya gamisnya putih, menyilaukan.
Tak jelas garis tubuhnya. Bagaikan bayang-bayang yang seakan transparan karena pendaran cahaya yang amat menyilaukan di sekitarnya itu.

“Wajahmu pucat,”suara orang tua itu lagi.”Adakah yang merisaukanmu?
Adakah yang menakutkan hatimu?”

Romi menggapai-gapai. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

Siapakah orang ini? Kata hatinya. Saya tidak mengenalnya. Benar-benar saya tidak tahu darimana dia datang. Tiba-tiba saja ia berdiri di hadapan ketika saya tersedot oleh cahaya yang terang benderang itu.

“Engkau memang sudah lama tidak mengenaliku lagi, anakku. Engkau sudah terlalu lama melupakan aku karena engkau sibuk. Engkau sibuk dengan perusahaan-perusahaanmu. Engkau sibuk dengan duniamu. Dunia itu telah membiusmu habis-habisan. Engkau memang seorang pekerja yang ulet.”

“Ya, saya memang harus bekerja keras. teramat keras jika ingin sukses.”Tiba-tiba ia menemukan dirinya kembali.

“Engkau sudah sangat sukses, anakku. Aku tahu itu. Bagian dunia mana lagi yang belum engkau miliki? Semua telah engkau miliki kecuali mungkin aku yang tidak lagi engkau miliki.”

Orang tua berjubah putih itu, dengan gamisnya yang berumbai-umbai seakan bermain-main dengan pendaran cahaya disekitarnya, menatapi Romi dengan wajah yang teduh sekali.

“Akulah yang mendampingimu selama ini, anakku,”suaranya lagi.”Akulah yang senantiasa membimbingmu, membisikimu sebab aku tahu, tak mudah untuk senantiasa menjadi seimbang dan berimbang. Tak mudah untuk selalu ingat tujuan awal-mula engkau berada di sini. Ketika engkau tak mempunyai apa-apa, miskin dan tersisihkan, tak mudah untuk mengingat tujuan awal mula itu.
Kini pun, ketika engkau sukses sebagai seorang pengusaha kelas kakap, dengan harta yang berlimpah-limpah, ternyata tetap tak mudah untuk mengingatnya. Banyak yang telah engkau miliki tetapi banyak pula yang telah hilang dari dirimu.
Memang tak mudah untuk menjadi seimbang dan berimbang, tapi justru karena dalam hidup ini sesungguhnya merupakan perjuangan semata-mata, usaha semata-mata, mengapa engkau melupakan tujuan awal mula engkau hadir di sini dalam perjuangan itu? Dan akulah yang selalu mengingatkanmu, berulang-ulang. Walaupun aku tahu, kau kini tak lagi peduli. Kau melupakan diriku.
Seakan aku selama ini hanya menghalangi setiap langkahmu.
Lalu, apakah yang bisa kulakukan? Juga malam ini, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Barangkali engkau memang terpaksa harus pergi ke suatu tempat yang amat jauh malam ini. Dan aku menangis, anakku, jika itu sampai terjadi karena ternyata engkau belum memiliki bekal apa pun.”

Orang tua itu kemudian beranjak hendak pergi.

“Tunggu!”teriak Romi tiba-tiba.”Jangan tinggalkan aku. Jawab dulu pertanyaanku. Siapakah kau? Siapa?”

“Akulah yang senantiasa bersemayam dalam hatimu, anakku,”jawab orang tua itu pelan, sejuk sekali.

Tiba-tiba wajahnya yang semula tidak jelas tampak karena pendaran cahaya disekitarnya itu, kini terlihat teduh sekali. Romi terpana.

Perlahan matanya pun terbuka. Ia menatap sekitarnya. Sunyi sekali di ruangan yang dominan putih dengan aroma obat-obatan itu.