Hujan.
Titik-titik air
yang dinanti dan dicaci.
Itu karya pertama Penulis yang dibacakan di muka publik. Saat itu pelajaran Bahasa Indonesia yang diasuh oleh Ibu Nuraini ketika Penulis berada di kelas II Sekolah Menengah Pertama Negeri 34, Palembang. Kini setelah waktu berjalan menua, puisi tadi masihlah up to date untuk hidup kekinian. Hujan masih tetap sesuatu yang dinanti, terutama bagi anak-anak.
Sore itu aku duduk menghadapi laptop di ruang depan sementara di jalan depan rumah si sulung dengan beberapa temannya berkejar-kejaran bola sepak. Teriakan terkadang terdengar bila salah satu pihak berhasil memasukan bola ke gawang yang terbuat dari tumpukan sendal. Sesekali aku keluar untuk melihat keasyikan mereka beraktivitas dan menjaga mereka dari lalu lalang kendaraan.
Langit tertutup awan gelap. Gemuruh geledek terdengar memenuhi alam, tapi kerumunan anak-anak itu tetap tak terganggu. Mereka tetap berebut menendang bola sepak yang tidak lagi bulat itu.
Tik-tik-tik! Perlahan titik-titik air jatuh mengenai tanah, genteng rumah, daun, pagar, dan di tubuh mereka yang masih menendang-nendang bola sepak.
“Berhenti! Hujan turun!”teriak seorang ibu dari teras depan rumahnya.
“Hoi! Pulang!”satu teriakan terdengar lagi dari pintu rumah sebelahnya.
“Nggak boleh mandi, ya!”sahutan terdengar lagi.
Seng rumah pun menggemuruh ditimpa air yang kian deras turun. Serentak kumpulan tadi berhenti dan berteduh di teras rumah kami. Aku keluar dan duduk menemani mereka. Kicauan mereka tambah bersemangat seiring makin derasnya hujan. Tanah pun mulai tergenang air. Air yang terus menelusur menuju selokan.
“Ayah,”panggil si sulung.”Boleh mandi, kan?”
“Nanti kalau hujannya lebat.”
Dan, hore!, tanpa menunggu komando dari ayahnya, anakku langsung terbang menyongsong hujan. Teman-temannya pun segera menyusul. Tak hirau dengan ancaman orang tua mereka, mereka kembali tenggelam dalam permainan menyepak bola, meskipun kini ditemani tetesan air disekitar mereka. Penuh tawa.
Dalam sejarah panjang perjalanan manusia, mandi hujan adalah aktivitas yang paling ditunggu. Setiap generasi mempunyai cerita tersendiri mengenai hujan meskipun semuanya sama dalam melihat hujan. Ceria, bebas, kekanak-kanakan. Jadi, biarkan mereka menikmati hujan agar imajinasi mereka tentang hujan tak berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar