Lelaki itu bukan seorang kaya. Ia adalah kepala
keluarga yang sederhana. Ia seorang guru, yang kini banyak dilupakan orang. Ia
memang seorang guru yang tekun, setia pada profesinya dan senantiasa bergairah
untuk meningkatkan kemampuan profesinya itu.
Sebagai guru, ia tidak pernah bekerja lain, kecuali mengajar di beberapa
sekolah swasta untuk melengkapi tugas utamanya sebagai guru di sekolah negeri.
Semua itu dikerjakannya dengan intens, dengan serius,
dan sungguh-sungguh. Ia tak pernah mengajar tanpa persiapan terlebih dulu.
“Saya memang tidak ada bakat untuk bekerja lain,”katanya
suatu hari ketika seorang temannya mengajaknya mencari sambilan untuk menmbah penghasilan.“Mungkin saya sudah ditakdirkan
sebagai guru. Maka tak ada jalan lain, kecuali harus menekuni profesi ini
habis-habisan.”
Selain mengajar, ia pun banyak menulis. Ia menulis
buku pelajaran atau buku cerita bagi anak-anak didiknya. Ia hidup dalam dunia
seperti itu bersama isteri dan anak-anak dan mereka bahagia. Sampai pada suatu
hari, kepala sekolah memanggilnya dan memintanya untuk menolong salah seorang
muridnya.
“Apakah saya harus memberinya les tambahan, Pak?”
“Tidak,”jawab kepala sekolah.”Bantulah anak itu dengan
mengubah nilai rapornya agar ia bisa ikut program penelusuran minat dan bakat
untuk masuk perguruan tinggi."
“Tapi, Pak…”
“Sudahlah,”potong kepala sekolah.”Ini perintah. Kau
tahukan, orang tuanya banyak membantu kita selama ini. Apa jadinya kita semua,
jika kita tidak membantu anak itu.”
Lelaki itu terpana. Ia tak bisa berkata apa-apa. Bagai ribuan petir baru saja meluluhkan
otaknya. Ia tak menduga, jika problem seperti ini pada akhirnya akan dialaminya
pula. Ia memang sudah lama tahu, banyak guru yang menyulap rapor murid atas
permintaan orangtua. Karena takut atau karena
hal-hal lain. Tetapi lelaki itu tidak peduli. Ia hanya coba memahami,
mengapa koleganya terpaksa berbuat seperti itu. Bukankah hidup ini memang tidak
mudah?
Berhari-hari lelaki itu tidak tenteram. Ia menderita
insomnia dan migrannya kumat. Akankah ia turuti perintah kepala sekolah?
“Saya tidak bisa melakukannya, Pak,”katanya saat
Kepala Sekolah menanyainya.” Saya tidak bisa melakukannya.”
“Kenapa? Bukankah tidak merugikan orang lain?”
“Memang tidak merugikan orang lain, tapi merugikan
kita sendiri. Kita guru.”
“Ah, kau. Kita tak rugi. Ingat, betapa banyak jasa
orangtua anak itu bagi kita, para guru, dan juga bagi kemajuan sekolah kita.
Pikirkan itu. Realistis sajalah.”
Itulah yang mengantarkan lelaki itu ke rumah sakit ini. Berpikir merupakan
beban yang amat berat. Dan apabila beban itu melebihi kemampuan otak seseorang,
ia pun akan pecah berkeping-keping.
Dua minggu ia dirawat. Di dalam ruang rawat inap itu,
ia menata kembali kemampuan berfikir otaknya yang telah pecah berkeping-keping
itu. Tiba-tiba ia merasa bersyukur di rawat di rumah sakit ini.
Bagi lelaki itu, tak selayaknya seseorang menjadi pengecut
hanya karena takut kehilangan hal-hal remeh. Adakah harga diri, bagi kebanyakan
orang, kini tinggal nama? Pertanda seseorang hidup adalah harga dirinya yang
dipertahankannya dengan tegar dan itu tidak mudah.
Lelaki itu menyadari, tak mudah untuk bertahan seorang
diri, tak mudah melawan arus, tapi sejak mula ia memang sudah pasrah. Apa pun
yang yang bakal terjadi, terjadilah. Dalam hidup yang majemuk dan dan pengap
seperti saat ini, setidaknya ia masih bisa merasa bahagia karena harga dirinya
masih ada dalam genggamannya.
“Tuhan telah menyelamatkan saya dengan memasukkan saya
ke rumah sakit ini. Saya tahu.”
Lelaki itu adalah kepala keluarga yang sederhana. Tak
banyak orang yang mengenalnya. Tak ada yang memperhatikannya.
Ia bernama Rio.
Sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar