Selasa, 29 Oktober 2019

R O I


Lelaki itu bukan seorang kaya. Ia adalah kepala keluarga yang sederhana. Ia seorang guru, yang kini banyak dilupakan orang. Ia memang seorang guru yang tekun, setia pada profesinya dan senantiasa bergairah untuk meningkatkan kemampuan profesinya itu.  Sebagai guru, ia tidak pernah bekerja lain, kecuali mengajar di beberapa sekolah swasta untuk melengkapi tugas utamanya sebagai guru di sekolah negeri.

Semua itu dikerjakannya dengan intens, dengan serius, dan sungguh-sungguh. Ia tak pernah mengajar tanpa persiapan terlebih dulu.

“Saya memang tidak ada bakat untuk bekerja lain,”katanya suatu hari ketika seorang temannya mengajaknya mencari sambilan untuk menmbah penghasilan.“Mungkin saya sudah ditakdirkan sebagai guru. Maka tak ada jalan lain, kecuali harus menekuni profesi ini habis-habisan.”

Selain mengajar, ia pun banyak menulis. Ia menulis buku pelajaran atau buku cerita bagi anak-anak didiknya. Ia hidup dalam dunia seperti itu bersama isteri dan anak-anak dan mereka bahagia. Sampai pada suatu hari, kepala sekolah memanggilnya dan memintanya untuk menolong salah seorang muridnya.

“Apakah saya harus memberinya les tambahan, Pak?”

“Tidak,”jawab kepala sekolah.”Bantulah anak itu dengan mengubah nilai rapornya agar ia bisa ikut program penelusuran minat dan bakat untuk masuk perguruan tinggi."

“Tapi, Pak…”

“Sudahlah,”potong kepala sekolah.”Ini perintah. Kau tahukan, orang tuanya banyak membantu kita selama ini. Apa jadinya kita semua, jika kita tidak membantu anak itu.”

Lelaki itu terpana. Ia tak bisa berkata apa-apa.  Bagai ribuan petir baru saja meluluhkan otaknya. Ia tak menduga, jika problem seperti ini pada akhirnya akan dialaminya pula. Ia memang sudah lama tahu, banyak guru yang menyulap rapor murid atas permintaan orangtua. Karena takut atau karena  hal-hal lain. Tetapi lelaki itu tidak peduli. Ia hanya coba memahami, mengapa koleganya terpaksa berbuat seperti itu. Bukankah hidup ini memang tidak mudah?

Berhari-hari lelaki itu tidak tenteram. Ia menderita insomnia dan migrannya kumat. Akankah ia turuti perintah kepala sekolah?

“Saya tidak bisa melakukannya, Pak,”katanya saat Kepala Sekolah menanyainya.” Saya tidak bisa melakukannya.”

“Kenapa? Bukankah tidak merugikan orang lain?”

“Memang tidak merugikan orang lain, tapi merugikan kita sendiri. Kita guru.

“Ah, kau. Kita tak rugi. Ingat, betapa banyak jasa orangtua anak itu bagi kita, para guru, dan juga bagi kemajuan sekolah kita. Pikirkan itu. Realistis sajalah.”

Itulah yang mengantarkan lelaki  itu ke rumah sakit ini. Berpikir merupakan beban yang amat berat. Dan apabila beban itu melebihi kemampuan otak seseorang, ia pun akan pecah berkeping-keping.

Dua minggu ia dirawat. Di dalam ruang rawat inap itu, ia menata kembali kemampuan berfikir otaknya yang telah pecah berkeping-keping itu. Tiba-tiba ia merasa bersyukur di rawat di rumah sakit ini.

Bagi lelaki itu, tak selayaknya seseorang menjadi pengecut hanya karena takut kehilangan hal-hal remeh. Adakah harga diri, bagi kebanyakan orang, kini tinggal nama? Pertanda seseorang hidup adalah harga dirinya yang dipertahankannya dengan tegar dan itu tidak mudah.

Lelaki itu menyadari, tak mudah untuk bertahan seorang diri, tak mudah melawan arus, tapi sejak mula ia memang sudah pasrah. Apa pun yang yang bakal terjadi, terjadilah. Dalam hidup yang majemuk dan dan pengap seperti saat ini, setidaknya ia masih bisa merasa bahagia karena harga dirinya masih ada dalam genggamannya.

“Tuhan telah menyelamatkan saya dengan memasukkan saya ke rumah sakit ini. Saya tahu.”

Lelaki itu adalah kepala keluarga yang sederhana. Tak banyak orang yang mengenalnya. Tak ada yang memperhatikannya.

Ia bernama Rio.


 Sumber : Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar