Kamis, 31 Oktober 2019

KULTUS INDIVIDU



KETIKA Ali bin Abi Thalib r.a. gugur ditikam seorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam, di Persia, Abdullah bin Saba menolak berita wafatnya Khalifah keempat tersebut.

“Biar kau bawakan seribu saksi, aku tak percaya kalau Imam Ali meninggal,”ucap Saba, seorang Yahudi asal Yaman, kepada komplotannya.

Sandiwara yang sangat menyakinkan tadi sempat mempengaruhi sebagian kalangan arus bawah muslimin kala itu. Akibatnya, muncullah kultus individu terhadap diri Ali r.a. Namun, kultus individu itu sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum itu. Di’bil, seorang penyair terkenal, waktu itu telah dihukum Sayidina Ali karena memuji dirinya dengan puisi-puisi kelewat batas.

“Ada dua golonganku. Keduanya celaka, yaitu yang mengultuskan aku secara tidak proporsional dan yang membenciku secara berlebihan.”

Menurut Ali r.a., mereka itu, seperti yang ditulis Dr. Sayyid Musa Al-musawi, adalah orang bebal dan rendah budi,  yang bergerak menurut arah angin, mengikuti mereka yang keras kepala dan tidak mengikuti sinar petunjuk Allah(Al Quran dan Hadist).

Ada sekelompok orang yang tetap setia mengikuti Ali. Mereka ini sejak zaman Nabi Saw dan para sahabat tetap solid bersama jamaahnya. Untuk itulah Ali r.a. menyebut mereka sebagai kelompok tengah, ummatan wasathon. Beliau berkata,”Sebaik-bailk urusan itu di jalan tengah. Tidak ekstrim dan juga tidak terlalu moderat. Keluar dari jamaah alias mufaraqqah berarti lepas dari tuntunan.”

Satu di antara yang lepas itu adalah Amir bin Jarmuz. Dia termasuk sahabat yang termakan fitnah Saba pada saat perang Onta. Sebenarnya perang saudara ini tak akan meletus kalau saja Saba tidak membuat berita bohong yang ditebar ke kedua kubu terhadap kesepakatan damai yang disetujui antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, istri Nabi Saw. Kedua kubu semula salah faham dan peluang ini dimanfaatkan oleh munafik Yahudi agar kedua kubu tetap bermusuhan.

Namun, setelah perang saudara berakhir dengan damai, diam-diam Amir memburu Zubair, pendukung Aisyah, di Makkah. Amir membunuh Zubair sewaktu sedang salat di Masjidil Haram.  Dia lalu mempersembahkan sebelah tangan Zubair dan sebilah pedang milik Zubair sebagai bukti kesetiaan kepada Ali. Namun, tak dinyana, bukan pujian yang diterima Amir, melainkan kemarahan dan penyesalan dari Ali.

”Aku tahu siapa pemilik pedang ini. Dia pejuang di samping Rasulullah. Dia pahlawan Islam. Engkau telah mengakhiri hidupnya,”sesal Khalifah Ali.

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar