KETIKA
Ali bin Abi Thalib r.a. gugur ditikam seorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam,
di Persia, Abdullah bin Saba menolak berita wafatnya Khalifah keempat tersebut.
“Biar
kau bawakan seribu saksi, aku tak percaya kalau Imam Ali meninggal,”ucap Saba,
seorang Yahudi asal Yaman, kepada komplotannya.
Sandiwara
yang sangat menyakinkan tadi sempat mempengaruhi sebagian kalangan arus bawah
muslimin kala itu. Akibatnya, muncullah kultus individu terhadap diri Ali r.a. Namun,
kultus individu itu sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum itu. Di’bil,
seorang penyair terkenal, waktu itu telah dihukum Sayidina Ali karena memuji
dirinya dengan puisi-puisi kelewat batas.
“Ada
dua golonganku. Keduanya celaka, yaitu yang mengultuskan aku secara tidak
proporsional dan yang membenciku secara berlebihan.”
Menurut
Ali r.a., mereka itu, seperti yang ditulis Dr. Sayyid Musa Al-musawi, adalah
orang bebal dan rendah budi, yang
bergerak menurut arah angin, mengikuti mereka yang keras kepala dan tidak
mengikuti sinar petunjuk Allah(Al Quran dan Hadist).
Ada
sekelompok orang yang tetap setia mengikuti Ali. Mereka ini sejak zaman Nabi
Saw dan para sahabat tetap solid bersama jamaahnya. Untuk itulah Ali r.a.
menyebut mereka sebagai kelompok tengah, ummatan
wasathon. Beliau berkata,”Sebaik-bailk urusan itu di jalan tengah. Tidak
ekstrim dan juga tidak terlalu moderat. Keluar dari jamaah alias mufaraqqah berarti lepas dari tuntunan.”
Satu
di antara yang lepas itu adalah Amir bin Jarmuz. Dia termasuk sahabat yang
termakan fitnah Saba pada saat perang Onta. Sebenarnya perang saudara ini tak
akan meletus kalau saja Saba tidak membuat berita bohong yang ditebar ke kedua
kubu terhadap kesepakatan damai yang disetujui antara Khalifah Ali bin Abi
Thalib dan Aisyah, istri Nabi Saw. Kedua kubu semula salah faham dan peluang
ini dimanfaatkan oleh munafik Yahudi agar kedua kubu tetap bermusuhan.
Namun,
setelah perang saudara berakhir dengan damai, diam-diam Amir memburu Zubair,
pendukung Aisyah, di Makkah. Amir membunuh Zubair sewaktu sedang salat di
Masjidil Haram. Dia lalu mempersembahkan
sebelah tangan Zubair dan sebilah pedang milik Zubair sebagai bukti kesetiaan
kepada Ali. Namun, tak dinyana, bukan pujian yang diterima Amir, melainkan
kemarahan dan penyesalan dari Ali.
”Aku
tahu siapa pemilik pedang ini. Dia pejuang di samping Rasulullah. Dia pahlawan
Islam. Engkau telah mengakhiri hidupnya,”sesal Khalifah Ali.
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar