Sabtu, 19 Oktober 2019

T I T O

Ada yang bilang kepadanya, penyakit jantung koroner yang dideritanya mungkin karena stres.

“Karena stres?”tanyanya heran.”Saya tidak pernah strss. Sejak dulu saya merasa memang tidak pernah stres.”

Ia memang menolak dikatakan stres karena ia merasa tak ada hal-hal yang mengganggu hidupnya selama ini. Ia merasa biasa-biasa saja. Tak pernah tertekan atau membuatnya susah. Ia tetap sibuk. Hidupnya penuh. Pekerjaannya berjalan baik. Ia bergairah sepanjang hari. Bahkan sampai jauh malam, ia masih suka bekerja dengan semangat yang tinggi.

“Maka heran saya,”katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dokter menyodorkan hasil angiografi koronernya,”mengapa koroner saya menyempit seperti itu.”

Lelaki itu memang tidak merasakannya.

“Dalam hidup ini, stres memang tak mudah dikenali.”

“Tapi bagaimana kita bisa menerima logika bahwa stres menghinggapi kita walaupun kita memang tidak merasakannya secara nyata?”

Di antara berbagai faktor resiko koroner, stres memang merupakan salah satu faktor resiko yang amat kuat tapi sukar diidentifikasi. Stres seringkali tak terbaca dan tak tercatat. Mungkin saja stres hanya berupa suatu perasaan yang kurang nyaman atau suatu kecemasan, kegelisahan, kekuatiran, jengkel, marah, atau pun suatu perasaan tertekan yang tidak jelas wujudnya. Ada pasien yang kemana-mana selalu membawa obat nitrogliserin seraya berkata,”My health inside in this little bottle.” Ini pun sesungguhnya manifestasi stres yang lain. Semua perasaan yang tidak nyaman itu, bila kronis, berulang, dapat mengganggu fungsi tubuh.

Banyak orang yang menyangkal bahwa stres menggerogoti dirinya secara diam-diam tanpa disadarinya karena stres memang tidak banyak menyebabkan keluhan pada mulanya, tetapi, secara perlahan, stres mempengaruhi setiap unsur fungsi tubuh seseorang dan secara perlahan pula menyebabkan perubahan-perubahan tertentu.

Manusia cenderung merasa ada saja yang kurang di sepanjang hidupnya dan perasaan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu wujud stres yang kronis dan tidak disadari. Selama suatu keinginan belum dapat diraihnya, seseorang akan selalu merasa tidak enak dan mungkin tidak bahagia. Ia berfikir, alangkah bahagianya jika semua itu dapat dicapai, tapi, kenyataannya, tidak selalu indah seperti apa yang dibayangkannya.

Begitu suatu hasrat terpenuhi, pada saat itu pula sudah timbul hasrat yang lain lagi. Tiba-tiba saja ia merasa kurang dalam hal lain, misalnya kurang dalam cinta, kekuasaan, seks, uang, materi, prestise, pujian, pengakuan, dan sebagainya.

Stres mungkin bergantungan pada sudut-sudut kamar kita, di balik lipatan berkas-berkas surat di meja kantor, pada atap gedung yang tinggi, atau pada pertandingan tinju yang terpampang di kaca televisi, atau pada ruang dengan kesunyian yang teramat dalam. Kita tidak bisa menghindarinya ataupun  menyangkal kehadirannya.

Mungkin benar, hidup kita memang merupakan rangkaian berbagai stres yang kita jalani. Kita bisa merasakannya, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana ia sampai mempengaruhi fungsi tubuh kita. Stres menyapa kita sepanjang waktu. Ia bisa lembut bagai seorang gadis yang pemalu dan memberi semangat yang luar biasa tapi ia bisa juga seperti pembunuh berdarah dingin yang tidak kita ketahui kehadirannya tetapi mengancam kita.

Maka, tidakkah itu berarti bahwa stres memang dibutuhkan dalam hidup kita sendiri dan bahwa stres bisa positif dan bisa pula negatif efeknya? Tidakkah kita menyadari bahwa sesungguhnya wujud stres sangat tergantung dari sikap kita sendiri dalam menghadapinya? Dan tidakkah sesungguhnya semua itu tergantung pada kemampuan kita menjinakkan diri sendiri?

Barangkali, dibalik perasaan tidak stres yang kita rasakan sehari-hari, tersembunyi stres kita yang sebenarnya. Dan kita berusaha melupakannya diam-diam,”kata lelaki itu perlahan, hampir tak terdengar. Ia memang berkata hanya untuk dirinya sendiri.
Ia bernama Tito. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar