Ada yang
bilang kepadanya, penyakit jantung koroner yang dideritanya mungkin karena stres.
“Karena stres?”tanyanya
heran.”Saya tidak pernah strss. Sejak dulu saya merasa memang tidak pernah stres.”
Ia memang
menolak dikatakan stres karena ia merasa tak ada hal-hal yang mengganggu
hidupnya selama ini. Ia merasa biasa-biasa saja. Tak pernah tertekan atau
membuatnya susah. Ia tetap sibuk. Hidupnya penuh. Pekerjaannya berjalan baik.
Ia bergairah sepanjang hari. Bahkan sampai jauh malam, ia masih suka bekerja
dengan semangat yang tinggi.
“Maka heran
saya,”katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dokter menyodorkan
hasil angiografi koronernya,”mengapa koroner saya menyempit seperti itu.”
Lelaki itu
memang tidak merasakannya.
“Dalam hidup
ini, stres memang tak mudah dikenali.”
“Tapi
bagaimana kita bisa menerima logika bahwa stres menghinggapi kita walaupun kita
memang tidak merasakannya secara nyata?”
Di antara
berbagai faktor resiko koroner, stres memang merupakan salah satu faktor resiko
yang amat kuat tapi sukar diidentifikasi. Stres seringkali tak terbaca dan tak
tercatat. Mungkin saja stres hanya berupa suatu perasaan yang kurang nyaman
atau suatu kecemasan, kegelisahan, kekuatiran, jengkel, marah, atau pun suatu
perasaan tertekan yang tidak jelas wujudnya. Ada pasien yang kemana-mana selalu
membawa obat nitrogliserin seraya berkata,”My
health inside in this little bottle.” Ini pun sesungguhnya manifestasi stres
yang lain. Semua perasaan yang tidak nyaman itu, bila kronis, berulang, dapat
mengganggu fungsi tubuh.
Banyak orang
yang menyangkal bahwa stres menggerogoti dirinya secara diam-diam tanpa
disadarinya karena stres memang tidak banyak menyebabkan keluhan pada mulanya,
tetapi, secara perlahan, stres mempengaruhi setiap unsur fungsi tubuh seseorang
dan secara perlahan pula menyebabkan perubahan-perubahan tertentu.
Manusia cenderung
merasa ada saja yang kurang di sepanjang hidupnya dan perasaan seperti ini
sesungguhnya merupakan suatu wujud stres yang kronis dan tidak disadari. Selama
suatu keinginan belum dapat diraihnya, seseorang akan selalu merasa tidak enak
dan mungkin tidak bahagia. Ia berfikir, alangkah bahagianya jika semua itu
dapat dicapai, tapi, kenyataannya, tidak selalu indah seperti apa yang
dibayangkannya.
Begitu suatu
hasrat terpenuhi, pada saat itu pula sudah timbul hasrat yang lain lagi. Tiba-tiba
saja ia merasa kurang dalam hal lain, misalnya kurang dalam cinta, kekuasaan,
seks, uang, materi, prestise, pujian, pengakuan, dan sebagainya.
Stres mungkin
bergantungan pada sudut-sudut kamar kita, di balik lipatan berkas-berkas surat
di meja kantor, pada atap gedung yang tinggi, atau pada pertandingan tinju yang
terpampang di kaca televisi, atau pada ruang dengan kesunyian yang teramat
dalam. Kita tidak bisa menghindarinya ataupun menyangkal kehadirannya.
Mungkin
benar, hidup kita memang merupakan rangkaian berbagai stres yang kita jalani.
Kita bisa merasakannya, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana ia sampai
mempengaruhi fungsi tubuh kita. Stres menyapa kita sepanjang waktu. Ia bisa
lembut bagai seorang gadis yang pemalu dan memberi semangat yang luar biasa
tapi ia bisa juga seperti pembunuh berdarah dingin yang tidak kita ketahui
kehadirannya tetapi mengancam kita.
Maka, tidakkah
itu berarti bahwa stres memang dibutuhkan dalam hidup kita sendiri dan bahwa stres
bisa positif dan bisa pula negatif efeknya? Tidakkah kita menyadari bahwa
sesungguhnya wujud stres sangat tergantung dari sikap kita sendiri dalam
menghadapinya? Dan tidakkah sesungguhnya semua itu tergantung pada kemampuan
kita menjinakkan diri sendiri?
Barangkali,
dibalik perasaan tidak stres yang kita rasakan sehari-hari, tersembunyi stres
kita yang sebenarnya. Dan kita berusaha melupakannya diam-diam,”kata lelaki itu
perlahan, hampir tak terdengar. Ia memang berkata hanya untuk dirinya sendiri.
Ia bernama
Tito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar